~Flower 13~

85 17 3
                                    

Pangeran tersenyum karena bibi Bang mendukungnya "Minum!!" Pangeran menyodorkan mangkuk porselin penuh dengan obat yang baunya begitu tajam dan pahit.

"Kenapa kau baik padaku?"

"Aku tidak mau kau mati disini!!"

"Aku tidak akan mati semudah itu, Sipal!!!" Dam-Hi mengumpat tanpa suara di akhir kalimatnya.

Haaah!!!—Lee Gak mendengkus, gadis itu sakit tapi masih bisa untuk berkelahi "Minum!!!"

Dam-Hi memperhatikan obat didepannya tersebut "Apa kau meludahi obat ini?!"

"Yaaa!!!"

"Tunggu!!—" Dam-Hi melirik kembali kearah suaminya "—Kau menambahkan racun didalamnya?"

"Nyonya Lee!!!" kesabaran Pangeran berada di ujung kini.

"Tidak?—" kata Dam-Hi sambil menggeleng, Pangeran menyodorkan obat tersebut kembali "Tunggu!!—" lagi-lagi Dam-Hi menyela "—Apa mungkin kau meletakkan obat ini pada mangkuk bekas berkumurmu?!"

"Yaaa—" Pangeran melotot kearahnya "—Kim Dam-Hi!!!! Kau minum atau aku akan meminumkannya?!" intonasi suara Pangeran meninggi kini.

"Arasso...arassoo kau berisik sekali!" Dam-Hi lalu meminumnya, ia hendak berhenti tapi Pangeran memegang tangannya dan meminumkannya membuatnya meminum semua obat didalam mangkuk walaupun harus berceceran.

Huueeekkk...!!! Dam-Hi mulai merasa mulai, Jan-Di sudah siap siaga dengan bejananya, namun tiba-tiba Dam-Hi melihat Pangeran melotot dan ia mati-matian menahan muntahannya.

Pangeran kemudian memegang kening Dam-Hi dan kening gadis itu masih terasa panas, Haah—pemuda itu menghela nafas.

"Apa yang kau pikirkan hingga pencernaanmu terganggu?" tanya Pangeran.

"Kau!"

"Aku?—" Pangeran tersenyum tersipu kemudian berdehem "—Ehemmm.. apa sekarang kita sudah dalam tahap saling memikirkan?!"

"Yaaa!! Bukan itu maksudku, tidak bisakah kita—kita tinggal di Istana??"

Mendengar kata Istana senyum malu-malu Pangeran menghilang seketika "Bukankah sudah kukatakan bahwa jawabannya tidak!"

"Wae? Bukankah kau lahir disana? Bukankah enak hidup di Istana? Apa kau tidak merindukan ayahmu? Nenekmu? Bukankah kita hanya tinggal tanpa harus melakukan apapun?"

Bibi Bang terlihat mengemasi bekas makan dan bekas obat Dam-Hi di bantu Jan-Di.

"Kenapa kau begitu ingin tinggal di Istana?" suara Lee Gak terdengar dingin.

"Itu—" Dam-Hi berhenti bicara sejenak kemudian menatap kearah Pangeran.

"Aku? Kau takut aku akan membunuhmu disini? Apa menurutmu di Istana aku tidak bisa membunuhmu!!" nada suara Pangeran terdengar marah.

Dam-Hi tak menjawab, ia menundukkan kepalanya namun Pangeran tak perlu jawaban ia sudah bisa menebaknya dari ekspresi yang dikeluarkan Dam-Hi.

"Heeeh!!" Pangeran mendengkus seraya bangkit dari duduknya, ia kemudian berjalan pergi namun berhenti sejenak "—itu bagus jika kau takut padaku, maka jangan lengah dan tetaplah waspada! Karena apapun yang terjadi—aku tidak akan mengembalikanmu ke orang tuamu begitu saja, kau hanya bisa kembali kesana dengan tubuh kakumu nanti!!!!" setelah mengatakan hal tersebut pemuda itu berlalu begitu saja.

Ucapan Pangeran barusan membuat Dam-Hi tambah ngeri, ingin rasanya ia kabur sekarang atau meminta Han Joon untuk membawanya pergi, namun kediaman Pangeran Soryung bukanlah sebuah kediaman sembarangan. Banyak penjaga mengerikan di luar rumah.

Dam-Hi menyeka airmatanya kemduian memandang keluar jendela kamarnya dengan nanar.

"Aku benci hidupku!!" gumamnya kini.

****

Malam harinya Pangeran terlihat menuangkan arak didalam temaramnya kamarnya. Beberapa botol arak terlihat berserakan di lantai.

Bibi Bang yang masih terjaga menatap sendu kearah kamar Pangeran Soryung "Haaaah—" helaan nafasnya terdengar berat.

Pemuda itu tidak pernah menginjakkan kakinya di Istana sampai suatu hari ia terlihat berpakaian rapi dan mengatakan akan pergi ke Istana menemui sang nenek setelah sekian lama, sebelumnya mereka hanya berkirim kabar lewat surat. Lee Gak nekat melangkahkan kaki ke tempat keramat tersebut baginya demi seorang gadis yang ingin di persuntingnya—Dam-Hi.

Dam-Hi? Ia—Kim Dam-Hi. Lalu bagaimana mereka bertemu?

Dam-Hi mungkin tidak menyadarinya, laki-laki yang menolong-nya dan teman-nya saat mereka kecopetan saat itu adalah Lee Gak dan Sol-Kang. Mata sayu Dam-Hi ternyata mampu mendebarkan hati Pangeran Soryung. Merasa penasaran dengan Dam-Hi—pemuda itu menyelidiki siapakah gadis cantik tersebut. Dan ketika Lee Gak tahu bahwa dia adalah putri bungsu keluarga Kim, hatinya hancur.

Berusaha untuk melupakan cintanya dengan cara menenggelamkan diri dalam minuman tak juga bisa hingga akhirnya ia menyerah pada hatinya dan mengikuti apa yang menjadi mau hatinya dengan mengambil resiko yang besar nantinya. Menyakiti atau disakiti.

Ia-pun akhirnya membuat rencana dan melangkahkan kakinya ke Istana untuk mempersunting putri bungsu keluarga Kim tersebut, penolakan adalah awal yang diterimanya namun untuk pertama kalinya ia berbicara dengan sang ayah—Raja, meminta agar gadis itu menjadi istrinya.

Saat itu perasaannya kacau antara suka dan benci ia belum bisa membedakannya dan mencampurnya menjadi satu, menggunakan gadis itu sebagai alat pelampiasan sakit hatinya pada keluarga Kim namun setelah lama mengenal Dam-Hi sepertinya, hatinya mulai berubah kini.

Pangeran yang kaku dan datar tak tahu bagaimana mengekspresikan rasa Sukanya, setiap melihat Dam-Hi ia merasa gugup dan salah tingkah, ia berusaha keras untuk membuat gadis itu bahagia dan ia berharap bersama gadis itu ia bisa melupakan sakit hatinya selama ini namun kenyataannya kini begitu menyakitkan, gadis itu malah membencinya dan ketakutan berada di dekatnya.

Apakah ia benar bahwa ia tak berhak bahagia? Apakah ia benar-benar terkena kutukan dan menjadi monster karena dendamnya? Apakah ia harus menyerah pada cintanya dan kembali pada kebencian??

Jika Dam-Hi tak juga menyadari perasaan Lee Gak mungkin semuanya akan terlambat dan Lee Gak benar-benar akan menjadi Monster yang menakutkan.

*****

Tengah malam Jan-Di berlarian menuju dapur-kamar Dam-Hi-dapur lagi-kamar Dam-Hi lagi. Panas gadis itu tak juga turun dan malah menjadi, tubuhnya lemah dan gadis itu tak bisa membuka matanya karena rasa pusing yang mendera-nya istilah modern-nya sih kena vertigo.

Han Joon yang berjaga di luar begitu cemas dengan keadaan Dam-Hi dan lagi-lagi ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk nona-nya tersebut.

"Nona Jan-Di, apa yang harus saya lakukan? Apa saya harus memanggil tabib??" tanya Han Joon cemas.

"Sol-Kang sudah memanggil tabib, bisakah mengambilkan air bersih lagi saya harus menganti pakaian nyonya yang basah," kata Jan-Di seraya menyerahkan baskom berisi air.

Pangeran yang baru sadar dari mabuknya keluar kamar untuk menghirup udara segar, ia memijat kepalanya yang masih terasa berdenyut saat melihat Han Joon berjalan cepat sambil membawa baskom. 

CONTINUE.... 

Fuuiiihhhh.... melelahkan rasanya harus membagi jadwal.... 

Dam-Hi sedang sakit jadinya agak terlambat... hehehehehe

As a Flower Bloom and Fall (LANJUT KARYA KARSA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang