BAB 9 Tiga Bersaudara Dirgantara

25 5 0
                                    


Harta yang paling berharga adalah keluarga
Istana yang paling indah adalah keluarga
Puisi yang paling bermakna adalah keluarga
Mutiara tiada tara adalah keluarga

Benarkah begitu? Langitpun tak bisa menjawabnya. 
Mau tahu tentang Langit dan keluarga Dirgantara? Ceritanya makin seru di hari ke 9 dalam #event25harisamuderaprinting.

Selamat membaca!

Selamat membaca!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Sayang hujan tak pandai bercerita

Karena tak mudah mengisahkan tentang luka pengkhianatan

Tak mudah menyampaikan kebenaran tentang kelamnya malam


Aku memacu motor Pak Amat ke rumah, berharap Ibu ada di depan pintu, menyambutku. Aku berharap setelah ini aku bisa menikmati mandi air hangat, lalu tidur dipangkuan ibu sambil disuapi pisang goreng buatan bibi. Sesekali menyesap coklat panas, ditemani ibu yang menyesap kopi pahitnya,bercanda, membicarakan kebiasaan Bram menonton film-film aneh, atau ngerumpi tentang Amel, tetangga depan, yang berciuman dengan Ferdi pacarnya,

Namun semua ini hanya impianku. Aku melihat mobil kak Bintang di halaman depan. Kak Angkasa tampak marah dan panik, mondar mandir dengan handphone di telinganya. Sepertinya dia sedang kesal karena panggilan telponnya tidak diangkat. Aku segera memarkirkan motor dengan sembarangan dan menghampiri kak Angkasa.

"Langit, Dari mana kamu? Bukannya ikut ke rumah sakit ngurusin ibu malah pergi!" bentak kak Angkasa saat melihatku. Sesaat kemudian dia kembali konsentrasi pada seseorang di seberang telponnya.
"Kak Bintang, gimana ibu?" tanya kak Angkasa ke seseorang di balik telponnya tanpa menunggu jawabanku atas pertanyaannya. Ibu? Kak Bintang?

"..."
"hah? Apa?"
"Iya...iya...aku kesana sekarang. Langit sudah sama aku. Papa disana?"

"..."

"Argghhh!!!!! Kemana sih papa.... Ha-pe nya juga mati. Oke.. oke.. aku berangkat!"

Kak Angkasa menutup telponnya dan menarik tanganku dengan kasar. Aku yang sedang terdiam kebingungan, tidak siap dengan tarikan kak Angkasa, hampir saja terjatuh. Tapi karena aku tahu tujuan kami adalah ibu, maka aku tidak protes dengan apa yang Kak Angkasa lakukan. Kami segera masuk kedalam mobil dan Melesat pergi.

Masih dalam keadaan gemetar akibat ulah Kak Angkasa yang membawa mobilnya dengan kecepatan tak biasa dan cara yang luar biasa memacu jantung, aku dipaksa turun dari mobil di sebuah rumah sakit.

"Langit, buruan! Lelet banget ni anak! Katanya kesayangan ibu, tapi nggak peduli sama Ibu?!" teriakan kak Angkasa yang menyebutkan kata Ibu menyadarkanku dan seolah memberikan kekuatan bagi kakiku. Aku segera lari mengikuti Kak Angkasa, yang ternyata menemui Kak Bintang di depan sebuah pintu berwarna abu abu.
"Ibu gimana kak?" tanya kak Angkasa tidak sabar sambil memandang nanar pintu yang diatasnya ada lampu merah menyala.
"Belum ada kejelasan Ang! Masih ditangani dokter di dalam," kata Kak Bintang lemah.
"Arggghhh! Sebenarnya ibu kenapa sampai seperti ini? Dimana Bibi dan pak Atmo?"
"Bibi disana," kata kak Bintang, menunjuk wanita paruh baya yang sedang duduk menangis di bangku panjang tak jauh dari kami. "Pak Atmo sedang pulang mengantar pak satpam dan mengambil baju bibi sama ibu. Bibi mau nungguin ibu disini katanya."

Hujan Untuk Langit & BumiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang