BAB 25 Apakah ini Permainan?

11 1 0
                                    


Akhirnya, Langit melamar bumi di hari terakhir   #event25harisamuderaprinting.

Pingin tahu tanggapan BUmi? baca yuk.

Pingin tahu tanggapan BUmi? baca yuk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dia telah menanam cinta

Serta rasa dalam hati dan jiwa

Membuat gundah yang mengalaminya

Gelisah yang akhirnya dirasa


POV Bumi

Aku tidak tahu apa yang Langit inginkan. Bukankah tadi dia ingin melamar Mentari? Hanya karena kejadian tadi, dia harus berpura pura mengatakan bahwa dia mencintaiku dan melamarku menjadi pendampingnya. Semua hanya karena dia tidak mau sahabatnya dihina kan? Aku benar benar tidak mengerti kata-kata Langit. Aku merasa sangat bodoh. Tapi entah kenapa hujan rintik-rintik ini sepertinya menginginkanku untuk mendengarkan Langit. Hujan ini seperti untuk Langit dan Bumi berbicara.

"Bumi, apa yang kukatakan di dalam tadi adalah benar adanya," katanya dengan tegas, membuatku terkejut. Kupandang matanya yang tajam untuk mencari kebohongan atau sekedar tanda kejahilan disana. Jantungku masih terus berpacu dan berdetak. Otakku seakan mengosongkan isinya dan tak mampu berpikir. Namun hatiku tidak dapat dibohongi. Ya hatiku bersorak gembira mendengar kata-kata Langit. Pipiku seolah bekerja sama dengan hati, memanas dan aku rasa sudah merah tak karuan. Kulihat kilat kebahagiaan di mata Langit. Namun keraguan masih begitu menganga di hatiku. Benarkah? Apakah ini semacam lelucon dari Langit? Lalu Mentari? Argh! Itu lagi. Boleh tidak ya, kalau kali ini aku egois dan menganggap ini semua benar terjadi?

"Ma... maksudmu?" akhirnya hanya kata itu yang mampu aku ucapkan.

"Ya Bumi, aku mencintaimu,"

"Mentari?" Argghhh... kenapa justru nama itu yang kuucapkan? Padahal hatiku ingin meneriakan cintaku untuknya.

"Ada apa dengan Mentari?" Kata Langit

"Bukannya kamu ingin melamar Mentari malam ini. Mereka mengatakannya padaku. Mentari sudah menunggumu di dalam. Kasihan. Kamu jangan main main Langit," kataku dengan suara bergetar. Akhirnya aku memutuskan untuk menyuarakan keraguanku. Aku tidak akan tega merebut kebahagiaan mereka berdua hanya karena kejadian konyol tadi. Tapi hatiku juga perih. Kutundukan kepalaku menahan perih dan air mata yang berdesakan ingin keluar. Tapi Langit lagi lagi tidak mau mengerti. Kembali jarinya memberikan aliran listrik yang dasyat saat menyentuh dan mengangkat daguku. Matanya memandang lurus, seolah ingin menerobos dan membaca hatiku lewat mata. Kurasakan hangat genggaman tangan besarnya di tanganku yang gemetar dan dingin. Hangat, ya hangat yang nyaman mengalir melalui tangan itu, memberikan kehangatan dan kekuatan padaku. Salahkah aku jika mengharap kehangatan ini terus kumiliki?

"Bumi, Aku mencintaimu, dulu sekarang dan nanti. Tidak ada Mentari atau siapapun di hatiku. Hanya kamu. Maukah kamu menjadi pendampingku. Maukah kamu menua bersamaku menikmati setiap hujan yang hadir dalam hidup kita?" Tanya Langitmengejutkanku. Ah apakah ini halusinasiku? Tuhan, jika ini mimpi jangan bangunkan aku dari mimpi ini. Diam-diam kucubit jariku untuk meyakinkan diri. Auchh! Sakit!

Hujan Untuk Langit & BumiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang