BAB 13 Kau Inginku

33 4 0
                                    

Sayang, Bumi menolak ajakanku dengan gelengan kepala sambil tersenyum.Bibirnya yang merah alami itu berkerut menggemaskan. Ingin rasanya aku berbalikdan mencium, melumat serta menggigitnya dengan gemas.

ish ish... tahan.... sabar.... mending baca aja langsung ya cerita Langit hari ini, dihari ke 11 dalam #event25harisamuderaprinting. 

Aku dan kamu seperti raga dan bayangannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku dan kamu seperti raga dan bayangannya

Kita selalu bersama meski kita tak rasa

Kau adalah mimpiku

Dan kau kukejar saat kau mengejar mimpimu

Hujan masih terus mengguyur kotaku. Aku harus menyelesaikan pekerjaan yang menumpuk di meja. Sungguh mengesalkan. Padahal hari ini aku sudah merencanakan untuk cuti dan menemani Bumi sidang skripsi. Apadaya sejak pagi banyak hal yang harus kukerjakan, sama sekali tidak bisa kutinggalkan. Setelah lulus SMA, papa memaksaku untuk terlibat penuh di Dirgantara Corp. Kata papa, aku satu-satunya harapan untuk meneruskan bisnis yang dibangunnya dengan susah payah. Kak Bintang sudah menyatakan tidak bersedia menjadi pewaris Dirgantara Corp. Dia sudah memiliki usahanya sendiri yang berkembang pesat. Sementara suaminya lebih memilih konsentrasi membantu sekaligus menjadi pewaris perusahaan Om Herman dan Tante Sari. Suami kak Bintang sudah diangkat anak secara resmi oleh adik ibuku.

Kak Angkasa jelas tidak akan meninggalkan petualangannya. Dia lebih memilih karirnya dan keliling dunia. Bahkan sejak kematian ibu, kak Angkasa hampir tidak pernah pulang. Dia hampir tidak pernah berbicara dengan papa. Jika dia ada di kota ini, dia memilih menemuiku di kampus, di café atau di apartemennya.

Menyelesaikan kuliah di jurusan manajemen bisnis Universitas Pelita Dirgantara, bukan hal yang sulit bagiku. Namun memimpin perusahaan Dirgantara justru lebih sulit karena membuatku jarang bertemu dengan Bumi. Bagiku, pekerjaan yang menumpuk ini tidak lebih sulit dari pada menahan rindu pada gadis bermata hujan itu. Bagiku, kehilangan waktu untuk menemani Bumi lebih berat dari apapun. Seperti saat ini, aku harus berkutat di kantor dan menghadiri berbagai rapat, saat hati dan pikiranku ada di Bumi.

Aku sudah meminta maaf pada Bumi karena tidak bisa menemaninya. Seperti biasa, dia juga akan tersenyum maklum dan memaafkan ketidakhadiran sahabatnya ini. Atau mungkin memang kehadiranku tak terlalu berpengaruh baginya. Toh semua orang juga tahu, tanpa kehadiranku pun Bumi akan bisa lulus ujian dengan nilai yang sangat baik. Toh aku hanya sahabat diantara sekian banyak orang yang menyayanginya. Orang orang yang selalu ada di sekitarnya.

Kuedarkan pandanganku keseluruh ruangan dingin dan beku milikku. Seolah semua mendukung mendung kerinduanku pada Bumi. Mataku berhenti pada bingkai foto di rak bukuku. Foto seorang gadis berseragam abu-abu di dalam kelas. Aku tersenyum mengingat hobi fotografi yang sejak kecil aku tekuni bersama ibu. Saat mengenal Bumi, kameraku seolah hanya memilih gadis itu sebagai obyek utamanya, menggantikan ibu. Bukan aku tidak pernah memotret yang lain. Namun kameraku seolah memiliki kebahagiaan, saat Bumi menjadi fokusnya. Salah satunya foto dalam bingkai itu. Hujan di luar masih terus turun. Aku menarik nafas perlahan dan pikiranku kembali melayang ke masa 6 tahun lalu.


Hujan Untuk Langit & BumiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang