If you never try, you will never know

16 1 0
                                    

Bapakku pernah jadi wartawan. Sebenarnya bukan wartawan, tapi beliau masuk aliansi yang tugasnya memantau penyaluran dana pemerintah di setiap daerah lalu menerima pengaduan dari masyarakat jika ada pelanggaran hukum. Tapi yang terjadi sungguh berkebalikan. Bukannya menangkap para cukong yang menyeleweng itu, bapakku malah memperdaya mereka. Bapak meminta 'uang rokok' ke mereka dan bilang tidak akan mengadukan mereka. Ujung-ujungnya bapakku tetap melaporkan mereka ke atasannya. 

Ck

Kalau zaman dahulu bapakku jadi wartawan di zaman penjajahan, bisa dipastikan beliau akan memperlambat laju perjuangan kemerdekaan. Bukannya menyebarkan berita-berita yang membangkitkan semangat juang rakyat, beliau malah sempat-sempatnya memalak serdadu belanda yang diketahuinya berkhianat. 

Tidak bisa disalahkan, apalagi dibenarkan. 

Background pendidikan tidak sesuai, pengalaman tidak ada, aku belum menyerah untuk jadi wartawan. Saat-saat seperti inilah kita butuh relasi. Kebetulan aku punya senior yang bekerja di salah satu media massa terbesar di Kalimantan. Tebak dulu jurusan kuliah seniorku itu apa? Teknik sipil!

"Halo mbak Tati, saya udah kirimkan berkas lamarannya ke kantor tadi pagi, Mbak."

"Oke Lena, nanti coba saya follow up ke bagian HRD-nya ya."

"Terima kasih Mbak Tati."

Tapi begitu orang tuaku tau aku malah melamar pekerjaan sebagai wartawan, mereka gak setuju.

"Inang, kamu itu sarjana teknik pertambangan. Kenapa melamar jadi wartawan? Bapak gak setuju. Batalkan lamaranmu jadi wartawan itu!"

"Apa salahnya, Pak? Aku suka kok."

Mamaku ikutan ngomong. "Ni, bapakmu pernah jadi wartawan. Malam-malam malah diintip orang."

Wajar kalau bapakku 'diintip orang' tengah malam. Siapa yang gak kesal dimintai uang suap tiap hari?

Lagian aku yakin kalau jadi jurnalis gak butuh pendidikan spesifik. Butuh keberanian aja. Berani melontarkan pertanyaan kritis, berani meliput hal tabu, berani mewawancarai psikopat.

Tim investiagasi tiba di lokasi kejadian. Kameramen sudah siap menyorot si reporter yang akan membawakan headline news hari itu.

"Baik pemirsa, saat ini saya berada di kediaman salah satu pembunuh berantai tersadis di abad ini. Kami mendapat kabar bahwa dua hari yang lalu tersangka sudah meninggalkan tanah air. Seperti yang anda lihat ini adalah markas tersangka Mr X (35 tahun) yang sudah memulai operasi perdagangan illegal organ tubuh manusia sejak tahun 2001."

(kamera zoom in)

"Saya akan coba membuka pintunya"

(adegan mendorong pintu)

Tiba-tiba muncul seseorang dari dalam bangunan tua tersebut dengan benda tajam di tangan. Dia tertawa menggelegar. Ternyata dia adalah si pembunuh berantai.

"Apa anda sudah bosan hidup? Datang ke markas saya di siang bolong. Hahahah."

"Loh, bukannya anda sudah terbang ke luar negeri dua hari yang lalu?"

Tawa menggelegar lagi.

"Makanya kalau jadi reporter yang bener. Cari fakta, bukan opini."

Si reporter pun mati dicekik.

Cut.

Apa-apaan itu barusan.

Telepon masih terhubung. Mamaku manggil-manggil. "Ni, kau ketiduran? Ni?"

Aku buru-buru menjawab. "Oh, bukan Mak. Barusan ada ibu kos datang."

THE NAKED JOBSEEKERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang