Decision

8 1 0
                                    

Orang tua selalu mengajarkan anaknya untuk jadi orang sukses, tapi sebagian orang tua tidak pernah menjelaskan sukses itu yang gimana. Apakah mereka yang punya rumah besar dan mobil mewah? Atau mereka yang hidup sederhana tapi bahagia? Orang tuaku tidak sempat menjelaskan itu. Mereka udah capek kerja di ladang. Kami dibiarkan mencari tau sendiri. Yang mereka tau, kalau juara di kelas berarti pintar. Kalau gelar sarjana berarti gampang dapat kerja.

Sudah kuputuskan berangkat ke Jakarta. Gak ada lagi yang kutunggu atau menungguku di sini – di Kalimantan. Meski cuma punya ijazah dan sedikit tabungan, entah kenapa aku gak gentar menuju ibukota. 

"Kau udah tau kak, nanti mau tinggal dimana di Jakarta?"

Yeah. Butet akhirnya merelakan dengan gak ikhlas. Dia cuma duduk di atas tempat tidur, gak mau membantuku mengepak barang. 

"Udah. Neneknya tulang Rio, kau tau dia kan? Nanti aku tinggal di sana untuk sementara, sampai dapat kerja."

"Nah itu dia, kenapa gak berangkat setelah dapat kerja aja?"

Gak kujawab. Aku malah menyisihkan beberapa baju dan barang lainnya yang gak memungkinkan untuk dibawa ke pesawat.

"Makanya cepat kau selesaikan skripsimu, Tet. Nanti setelah wisuda langsung susul aku ke Jakarta. Oke?"

***

"Kerja apa di sana, Lena?" tanya ibu kos saat malam aku ke rumahnya bayar kosan yang numpuk 3 bulan, sekalian pamit.

"Masih nyari juga sebenarnya, Bu."

"Oh begitu. Yaudah, ini buat beli minum di jalan," ibu kos menyodorkan dua lembar seratus ribuan ke tanganku.

"Wah, terima kasih banyak, Bu. Semoga rezeki ibu ditambahkan Tuhan. Dan juga saya terima kasih untuk semuanya selama ini, tentunya minta maaf juga atas kelakuan saya yang kurang berkenan," aku mencium tangan ibu kos untuk terakhir kalinya malam itu.

***

Hari keberangkatan tiba.

Butet dan beberapa 'komplotan'nya mengantarkan aku ke bandara. Meski kemarin si kampret itu jadi ketus karena aku sudah memutuskan pergi ke Jakarta, hari ini dia malah nagis kejer. 

"Hey..hey. Kita masih di negara yang sama. Aku bukannya mau jadi TKW di Arab, cui," kupeluk si Butet. Mataku ikutan berkaca-kaca. Kalau si Tigor di sini, dia pasti makin yakin kami pasangan lesbian. 

Setelah emosinya stabil, si Butet berpesan, "Hati-hati ya Kak,  di sana banyak pencopet. Kalau ada yang sok akrab ngajak kau ngobrol, jangan ladeni. Ok?" pesan Butet.

Aku tersenyum "Iya iya, Tet. Siapa sih yang berani nyopet aku."

"Emang anda siapa?"

"Mantan mahasiswa di sini, hahahaha."

"Gak lucu gilak!"

Mungkin kalian bertanya-tanya, kenapa aku gak pulang kampung aja dulu setelah sah jadi pengangguran sarjana. Oh percayalah, aku juga maunya gitu. Tapi di kampung, sarjana yang nganggur kastanya dipandang lebih rendah dari apapun. Lagian, tabunganku cuma cukup membawaku ke Jakarta, gak sampai ke Medan.

Samosir, tunggu aja. Aku pasti pulang.

THE NAKED JOBSEEKERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang