Survival of the fittest II

4 1 0
                                    

Gak terasa sudah tiba di hari ketujuh training. Besok adalah hari pengadilan bagi para peserta. Siapakah yang layak jadi tukang tagih (baca : desk collection newbie) ?

Tesnya terdiri dari dua bagian, tes tertulis dan roleplay. Tes tertulis mungkin bisalah kulewati dengan mulus. Tapi roleplay? Apalagi kalau trainer nya berperan jadi nasabah ngeselin. Uh, mulut ini langsung gagu gak tau mau ngebalas apaan. 

Ternyata di hari-H tes, ada peserta dari trainer lain yang gabung ke ruangan kami. Meskipun tidak pernah berinteraksi sebelumnya, tetap aja kami saingan sekarang. Bukan apa-apa, semua orang juga pasti ingin mendapatkan hidup yang lebih baik. Dalam keadaan pandemi sekarang, nyari kerjaan susah. Tentu aku gak ingin kalah dari mereka. 

Tapi, baru aja ingin fokus mengerjakan kertas soal di depan mata, kursiku ditendang pelan dari belakang, disusul bisikan. 

"Neng, nomor sepuluh jawabannya A kan ya?"

Ingin kuberkata : 'Plis deh, ini tes kerja loh mas, bukan ujian mid semester.' Namun akhirnya  kubalas aja dengan menganggukkan kepala padahal aku masih ngerjain soal nomor 6. 

Ternyata hasil tes tertulis menentukan lanjut enggaknya peserta ke tes roleplay. Dari tujuh peserta yang satu trainer denganku, ada satu orang yang langsung disuruh pulang. Sisalah kami berenam. Keenam orang itu adalah :

Zikri, laki-laki yang sudah beristri dan punya satu anak. Dibandingkan aku, kurasa dia lebih butuh pekerjaan ini. Maksudku dia punya tanggung jawab menghidupi dua nyawa lagi selain dirinya. Jadi kalau aku gak lulus, itu jelas karena aku mengalah.

Sely, cewek bersuara lembut yang lebih cocok jadi information announcer di mall-mall daripada tukang tagih. Kalau dia nagih dengan suara selembut itu, dijamin nasabahnya makin bandel dan banyak tingkah. 

Kasih dan Wanda, keduanya lebih memungkinkan buat jadi tukang tagih dibanding Sely.

Sarif, cowok yang suaranya mirip banget mas-mas call center telkomsel. Ada nada-nada manja yang lembut gitu. Kalau Sarif yang jadi desk collection, nasabah cewek bakalan sengaja lama-lamain telponan sama dia. Meskipun ujung-ujungnya nasabahnya ngeyel bayar. 

"Lena sudah siap?" tanya Bu Hita. Entah sejak kapan aku sudah dapat giliran. Di dalam ruangan ini ada kami bertiga. Selain Bu Hita ada seorang QA (Quality Assurance) yang akan menilaiku. Aku duduk di depan laptop yang sudah disediakan dengan gemetar.

"Sudah siap belum?" Bu Hita mengulang pertanyaannya. Pengen banget balas belum. 

"Iya, sudah Bu." Apa yang terjadi terjadilah. Kumulai dengan sapaan assumptive.

'Halo Bu Ani.'

'Siapa ini?'

'Selamat Pagi Bu, Saya Lena dari *sensor*. Benar saat ini saya terhubung dengan Bu Ani?'

'Bukan, saya Putri.'

'Bu Putri siapanya Bu Ani?'

'Saya Iparnya.'

'Baik Bu Putri apakah saat ini sedang bersama Bu Ani?'

'Enggak. Dia lagi keluar.'

'Bu Putri sebelumnya sudah tau kalau Bu Ani punya cicilan HP di *** sebesar – '

Mampus, mana nih nominal tagihannya. Manaaaa... mousenya kekecilan, laptopnya loading..kenapa gak pakai komputer kayak kemarin aja sih...

'Halo Mbak Lena? Mbak?" trainer manggil-manggil aku yang lagi panik sendiri. 

'Sebentar ya Bu Putri'. Mouse saya kekecilan

"Bu Putri sebelumnya sudah tau kalau Bu Ani punya cicilan HP di *** sebesar – Rp. 825.000 yang sudah 39 hari terlambat bayar?' Aku udah mulai pusing. Abis ini gak tau mau ngomong apa lagi. Kayaknya 7 hari ini gak ada materi training yang nyangkut di otakku

THE NAKED JOBSEEKERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang