Job Fair

10 1 0
                                    

Aku gak pernah tau apa bakatku. Aku gak pernah tau apa sesuatu yang benar-benar bisa kulakukan. Padahal katanya, dalam hidup ini setidaknya kita harus punya sesuatu yang benar-benar kita kuasai. Entah itu jago bela diri, jago melukis atau jago memprovokasi. 

Tentu saja keahlian itu dibutuhkan untuk bertahan hidup. Jago bela diri misalnya, bisa jadi pengajar beladiri. Jago melukis? Lukisannya bisa dijual, jadi duit. Jago memprovokasi? Bisa direkrut sama tim sukses partai politik! 

Dari awal kuliah, aku udah mencoba untuk mencari apa sebenarnya sesuatu yang aku benar-benar bagus di dalamnya. Aku udah pernah ikut lomba panjat dinding, meski berakhir dengan tersangkut dan hampir meregang nyawa.

Ikut lomba karya tulis ilmiah, meskipun berakhir mencontek project orang lain dan dieliminasi dari lomba.

Pernah menantang diri sendiri dengan nekat backpacker-an ke pulau jawa sendirian (padahal baca google maps aja gak lulus), meski pun berakhir dengan hampir diperkosa orang! 

Setelah meninggalkan kampus dan memasukui dunia kerja, keahlian itu benar-benar dibutuhkan supaya perusahaan mau mempekerjakan kita. 

"Mbak, kalau mau ke stasiun pondok cina nunggu KRL-nya di sini ya?" aku nanya random sama orang di stasiun. Dia nengok beberapa detik, lalu mengangguk. "Iya, di sini."

Kok ngeliatnya gitu amat? Emang ada yang salah dengan penampilan ini? Kemeja putih, rok hitam, pantofel tumit 3 cm. Meskipun tumit 3 cm itu pada akhirnya bikin masalah karena ternyata jalan kaki dari stasiun pondok china ke balairung UI enggak dekat.

Kebanyakan lowongan yang dibuka : sales. Begitu ada syarat minimum tinggi badan dan berpenampilan menarik, langsung ku skip. Kalau ada syarat 'semua jurusan', aku berhenti. Datang ke acara job fair tanpa bawa HP itu sama kayak ke medan perang tanpa bambu runcing.

"Silahkan Kak, kakak dari jurusan apa? Ayok langsung di scan aja barcode-nya," sapa salah satu mas-mas penjaga stand job fair yang entah dari perusahaan apa. Di spanduknya ada gambar beberapa wanita dari berbagai negara yang tersenyum sopan. Tapi stand-nya sepi.

TKW? Gak mungkin sih. Tapi bukan itu masalahnya. Keadaan dimana aku gak punya HP-lah yang jadi masalah. Setelah dilihat lagi, ternyata di acara job fair ini setiap stand menyediakan barcode besar-besar yang bisa di scan para pencari kerja yang datang. Tinggal scan barcode aja buat melamar pekerjaan di perusahaan.

"Ayok kak. Dari tadi kakak yang ini kok mondar-mandir aja," si Mas-mas nya ternyata banci ini malah hafal aku yang dari tadi memang cuma bisa bolak-balik dari stand ke stand. 

"Ayok sini, Kak. Dari jurusan apa kakak? Di sini ada lowongan untuk semua jurusan kuliah loh," si mas banci mendekat.  

"Eum, eng..enggak Mas. Saya gak kuliah, cuma lulusan SMA."

Kukira si mas banci udah menyerah. Tapi dia malah menarik lenganku, "Panggil aja SANTI. Tenang , di sini lowongan untuk lulusan SMA ada juga kok, Kak."

"Ta..tapi, Mas sa..sa-"

"S-A-N-T-I, SANTI!"

"Iya, maksud saya Mas Santi, sa-"

"MBAK SANTI, dong masa MAS SANTI."

"Anu Mbak Santi saya..saya sebenarnya ke sini bukan nyari kerja." Bodo amatlah. Si mbak Santi langsung mengedip-ngedipkan matanya centil. 

"Terus ke sini ngapain?"tuntutnya kayak kami udah kenal lama. Itu pertanyaan mesti banget aku jawab?

"Mbak Santi itu ada orang ke stand-nya Mbak, " kataku menunjuk stand dia yang sebenarnya gak ada orang. Tepat saat perhatian Mbak Santi teralihkan aku kabur dengan menenteng pantofel ke luar balairung UI. 

THE NAKED JOBSEEKERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang