Can I Say 'No' ?

4 1 0
                                    

"Jangan kasih tau mama dulu ya," begitu kalimat sambutan Mora pas aku tiba di RS. Aku datang secepat mungkin ke alamat RS yang dikirimnya setelah mampir ke kos buat ngambil baju ganti.

"Kau Sakit apa, Mor?" bagaimanapun saat di perantauan dan jauh dari keluarga, pasti sedih rasanya menahan sakit sendirian. Gak peduli penyakitnya serius atau nggak. Apalagi kalau harus merahasiakannya dari orang tua.

Si Mora terbatuk. "Penyakit lamaku kambuh. Dari dulu aku ada masalah pernafasan."

Padahal sepupuku itu gak pernah merokok. Kupegang dahinya, normal. Berarti memang penyakit lamanya yang kambuh.

Selama Mora dirawat, aku berangkat ke kantor dari Tangerang. Perjuangan 1,5 jam di dalam KRL tidak mudah, karena dengan keadaan perut kosong aku harus berdesak-desakan berdiri di antara penumpang lain. Mulai dari stasiun keberangkatan sampai stasiun tempat aku turun gak kebagian kursi kosong. Pulang kerja pun gak ada bedanya.

Hari berikutnya, dari kosan kubawa sleeping bag untuk alas tidur di lantai rumah sakit. Aku gak tahan tidur di kursi yang bikin pegal begitu bangun besoknya. Sebenarnya gak banyak yang kulakukan di RS. Hanya sebatas menebus obat di apotik atau ke supermarket terdekat kalau sepupuku itu menginginkan sesuatu. Entahlah, aku gak pintar merawat orang sakit. Untungnya waktu aku di kantor ada teman kantornya yang berkunjung. Begitu aku datang, mereka pamit pulang.

"Apa kata orang dari kantormu?"

Mora duduk dan bersandar ke dashboard tempat tidur. "Aku dikasih cuti dua minggu, tapi tetap dibayar. Gak potong gaji."

Emang beda ya karyawan perusahaan BUMN. Aku iri. Sepupuku itu lulusan sastra inggris. Dia belum pernah jauh dari rumah. Makanya waktu berangkat ke Jakarta tanteku sempat gak ngasih. Meski anak cowok, si Mora ini terlihat lebih lemah fisiknya dari aku. Kalau emaknya tau anaknya lagi sakit, bisa dipastikan beliau bakalan nangis-nangis di telepon dan menyuruh anaknya pulang.

Makanya si Mora bilang biar mamanya gak usah dikasih tau dulu.

***

Suatu hari saat jam makan siang di kantor, terjadi kerumunan di meja Kak Lili. Tadinya kukira dia salah kirim barang customer lagi. Penasaran, aku ikut bergabung dengan mereka yang ternyata sedang menonton video.

"Video apaan, weh? Bagi-bagilah," kuselipkan diri untuk bisa ikutan menonton video yang lagi fokus mereka tonton. Di dalam video yang berlatar di luar negeri itu awalnya ada orang yang sedang berjalan lalu tiba-tiba rubuh begitu saja ke tanah. Tergeletak dan gak bergerak lagi. Kami yang menonton langsung heboh menjerit.

"Apa ini, kenapa dia jatuh?" aku berharap ada yang menjelaskan tapi Kak Lili, Febe, Kak Endang masih fokus menonton.

"Virus, Mael. Di Wuhan, China. Makanya hati-hati kau, kalau bulan ini omsetmu merah, nanti kau dikirim ke Wuhan," Kak Endang memberikan tatapan jahil lalu kembali fokus menonton.

Kok dia masih bercanda? Itu tadi orang dalam video kayaknya meninggal loh. Buru-buru aku kembali ke mejaku untuk mengecek informasinya sendiri.

Ternyata timeline instagram juga dipenuhi berita tentang virus yang menyerang sistem pernafasan itu. Gejala awalnya adalah batuk, demam, nyeri tenggorokan, sesak nafas. Kampretnya virus ini bisa menular lewat udara, sentuhan dan sudah menyebar ke negara tetangga China.

Sial! Aku langsung teringat si Mora. Segera kupencet nomornya untuk menelpon, waktu ada panggilan masuk di saat yang sama.

"Halo, Mora? Kau gak apa-apa, kan?!" rasa panikku gak bisa disembunyikan lagi. Bukan karena khawatir dia kenapa-kenapa, tapi kalau dia kena virus itu artinya aku juga udah tertular dong. Mana belum sempat menikah pulak. Masa aku harus die di usia 25 tahun?!

"Iya, aku gak apa-apa. Kok kau kayak panik gitu."

Karena aku belum nikah, Mor.

"Bukan apa-apa. Kau nelpon mau bilang apa? Ada yang mau kau makan? Bilang aja nanti kubelikan."

"Gak ada. Eh Len, kata dokter hari ini aku udah bisa pulang."

Aku langsung lega. Artinya dia aman dari virus mematikan itu. "Kau yakin gak mau ngasih tau tante soal penyakitmu yang kambuh ini?"

"Jangan. Pasti aku langsung disuruh pulang ke kampung kalau mama tau penyakitku kambuh."

Aku pun memutuskan telpon dan bilang ke dia kalau begitu pulang kantor bakalan langsung ke RS. Tapi itu hanya rencana. Begitu jam pulang tiba, aku mematikan komputer dan membereskan barang-barang, terdengar suara Kak Vina.

"Penawaran harga untuk semua customer pasif kamu udah selesai semua?"kayaknya Kak Vina tidak akan melepaskanku dengan mudah.

Dan sialnya dengan patuh aku duduk kembali ke kursiku lalu menyalakan komputer. Aku benci diriku yang gak bisa berkutik. Setelah tempo hari aku udah izin gak masuk gara-gara wawancara kerja di tempat lain. Kenapa sekarang aku begitu pengecut? Atau dari awal aku memang pengecut?

Kalau bisa memutar waktu, aku ingin mengubah beberapa hal di dunia ini.

1. Jurusan kuliahku

2. Jurusan kuliahku

3. Jurusan kuliahku

Mungkin terdengar egois. Tapi siapa tau aku bisa jadi lebih berguna untuk bangsa ini? Bukan seperti perkataan Dolores saat wawancara tempo hari. Kita dibayar untuk mewujudkan impian orang lain. Bentar.

Kalau aku dibayar untuk mewujudkan impian orang lain, itu artinya aku terjebak di mimpi orang itu kan? Terus yang memperjuangkan impianku siapa? RM BTS pernah berkata : jangan terjebak dalam mimpi orang lain!

Tanpa menyelesaikan pekerjaan yang diminta Kak Vina di kantor, aku langsung cabut begitu dia juga pergi. Sudah jam sembilan malam waktu aku dan Mora sampai di kosannya. Dia langsung berbaring di tempat tidur. Tadinya aku mau tinggal semalam untuk nemanin dia, tapi ditolak.

"Kau pulang aja. Aku bisa ditinggal kok."

"Kau yakin?"

"Iya, pulang aja Len. Kau pasti udah capek kerja. Makasih banyak ya."

"Makasi buat apa. Aku gak ada ngelakuin apa-apa. Yaudahlah. Kalau ada apa-apa telepon aja ya. Obatmu di atas meja."

"Oke."

THE NAKED JOBSEEKERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang