Welcome to Jakarta

10 1 0
                                    


Tulang Rio tiba-tiba menelpon dan ngasih tau kalau neneknya yang akan jadi tempat tujuanku di Jakarta gak mau nerima tamu atau apapun itu. Rumahnya lagi direnovasi. Aku yang udah duduk dalam pesawat pun lemas tak berdaya. Bahkan sebelum meninggalkan kalimantan, masalah pertama udah muncul. 

"Ibu, mohon maaf HP-nya-"

Pramugari datang mengingatkan. 

"Satu menit Mbak, satu menit aja," kataku ke pramugarinya sambil mengetik pesan tergesa-gesa. Aku gak tau ini berhasil atau enggak, tapi gak ada salahnya dicoba. 

Setelah selesai mengetik, kupilih 'send to all contacts'.  Isinya tak banyak, hanya : 'URGENT! MALAM INI AKU TERBANG KE JAKARTA, TAPI BELUM TAU MAU TIDUR DIMANA'. 

Semoga dari 250 kontak itu, ada yang kebetulan lagi nyari teman nginap di hotel buat semalam atau lagi ditinggal sendirian di rumah dan ingin ditemanin. Kalau enggak, malam ini aku jadi gelandangan.

Baru aja mau mengaktifkan mode pesawat, HP-ku bergetar ada panggilan dari bapakku. Kuanggukkan kepala sambil nyengir ke mbak pramugari yang udah melotot. 

"Iya, Pak. Ini udah di dalam pesawat. Aman, tempat tinggal aman nanti di Jakarta."

"Malam ini mau tidur dimana?"

"Aman, Pak."

"Di tempat siapa?"

"Udah beres pokoknya, Pak."

Gak mungkin kan aku jujur. 

"Di dekat bandara, ada anaknya tantemu tinggal di situ, si Mora. Udah bapak telpon tadi dia. Nginap di sana aja dulu, besoknya baru ke Jakarta."

"Iya Pak, iya. Memang ke situ tujuanku malam ini." Udah dulu ya, Pak. Pesawatnya mau terbang." 

Akhir cerita aku gak jadi gelandangan. Tentu bukan karena 'send to all contacts' tapi karena bantuan bapakku. Si Mora anak tanteku yang kebetulan kerja di bandara Soekarno-Hatta datang menjemput. Katanya dia udah di arrival. Masalahnya aku udah lama gak ketemu dia. Gak ingat gimana bentukannya. Terakhir ketemu waktu belum sekolah. 

Aku masih celingak-celinguk sambil ngeliatin kali aja ada yang bawa karton bertuliskan namaku kayak di drakor-drakor. Eh busyet, malah gak ada sama sekali. Waktu aku kepikiran buat nyari karton buat nulis nama sendiri, HP-ku bergetar ada panggilan dari nomor baru. 

"Halo?"

"Kau dimana? Aku pake baju hitam."

Baju hitam? Hm, petunjuk yang sangat membantu sekali. Dari beribu orang yang lalu lalang di bandara ini, 50% pake baju berwarna hitam .

Mataku akhirnya menemukan laki-laki jangkung berkaca mata diantara penjemput lainnya. Eh busyet, kok dia bisa setinggi itu? Seketeknya pun aku gak sampai? Mana dia rapi maksimal, pakai kemeja plus sepatu. Kupandangi diriku yang cuma pake kaos plus jins kumal. Gembel sekali. Begitulah perbedaan pengangguran dengan yang sudah mapan.

"Kau udah makan? Pasti lapar, kan?" sapanya kikuk.

Aku cuma menggeleng. Mora mendorong troli yang berisi koper dan barangku yang lain. Karena dia tinggi langkahnya panjang-panjang. Orang pendek macam aku harus jalan setengah berlari. Kami masuk ke salah satu restoran mahal di bandara.

"Eum, dekat sini gak ada warteg ya?" aku langsung khawatir makan di tempat mahal akan menguras isi dompet.

"Udah gak apa-apa. Kutraktir."

Yes, aman.

Sambil makan kami bercerita banyak hal. Mulai dari cerita tentang tanteku yang sempat gak ngasih dia merantau ke Jakarta, sampai pengalaman kerja pertamanya jadi sales asuransi.

THE NAKED JOBSEEKERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang