Welcome Back

3 1 0
                                    

Aku dilanda kegalauan.

Kembali ke Jakarta dan mendapatkan pekerjaan.

Atau kembali ke Jakarta dan memantapkan diri mengikuti seleksi tahap berikutnya rekrutmen relawan itu. 

Kalau aku cari pekerjaan, aku harus mau melamar pekerjaan yang punya syarat 'menerima semua jurusan'. Karena aku udah bertekad gak mau melamar pekerjaan di tambang lagi. Tapi biasanya pekerjaan yang ditawarkan dengan iklan seperti itu adalah pekerjaan gak enak. Entah itu target kerjaan yang gak manusiawi, jam kerja overtime atau lembur yang gak akan dibayar gak peduli berapa jam anda lembur. 

Iya sih, mana ada pekerjaan yang enak. Tapi setidaknya kalau memilih untuk mendapatkan pekerjaan, aku punya gaji bulanan, bisa bayar uang kos dan punya BPJS ketenagakerjaan. Kalau jadi relawan? Namanya juga relawan. Manusia yang rela. Rela gak dibayar, rela kelaparan, rela membantu orang lain, rela berkorban. Rela menderita. Aku mungkin gak menghasilkan duit tapi pengalaman jadi relawan bisa dimasukkan dalam CV. Itu bisa jadi pertimbangan besar bagi pemberi beasiswa S2 luar negeri.  

Tuh kan. Galau.

Tapi, setiap kali memantapkan hati untuk jadi relawan, bayangan mamak yang berjongkok mengecer andalimannya di pasar selalu muncul. Begitu pula bayangan bapakku dengan supra tuanya. Memang katanya kebahagiaan tidak bisa dibeli dengan uang, tapi aku sadar - sangat sadar betapa uang punya peranan penting dalam membahagiakan seseorang.

"Dalam Galatia 5 : 22-23 tertulis buah-buah roh adalah kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, dan kelemahlembutan. Tiga pertama merupakan hubungan orang Kristen dengan Tuhan Yesus, sedangkan yang lainnya menjadi cerminan hubungan orang Kristen dengan sesama," begitulah kotbah bapak saat hari Minggu. Betapa aneh rasanya mendengar bapak membawakan firman Tuhan setelah pekerjaan wartawan ecek-ecek-nya selama ini. Sebagai jemaat, aku, adikku dan mamak cuma bisa menyimak. 

"Begitu juga halnya dengan boruku yang lagi dalam masa pencarian pekerjaan. Seperti ada tertulis, janganlah kamu hendaknya kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur."

Aku cuma bisa membalas dengan menganggukan kepala. Masih sulit kuterima bapakku yang dulunya dari wartawan ecek-ecek, banting setir ke profesi keagamaan.

Akhir pekan aku main ke kos adekku di Pangururan. Kami bersepeda sambil menikmati segarnya udara sore. Kalau capek, kami berhenti dan duduk menghadap Danau Toba. Kuliat si berandal itu yang gak pernah lepas dari HP-nya.

"Dek?" panggilku yang hanya disahutin 'hm' tanpa melepaskan pandangan dari ponselnya. Dasar bocah.

"Kalau kakak gak cari duit, kau gak apa-apa kan gak jadi polwan?"

Perhatiannya langsung teralihkan. Segitu inginnya dia jadi polwan yang entah tugasnya apa pun aku gak tau. HP-nya langsung disakukan.

"Terus, kakak mau ngapain kalau gak cari kerjaan?"

Kuhembuskan nafas panjang sebelum menjawab, "Kakak mau jadi relawan."

"Pahlawan?"

"Relawan!"

"Relawan itu apa, Kak?"

"Relawan itu orang yang gak dibayar, tapi mau membantu orang lain."

"Emang ada orang sebodoh itu?" tanyanya tanpa rasa bersalah. Kutempeleng kepalanya.

"Bukan itu pertanyaannya. Harusnya kau tanya 'emang ada orang sepeduli itu sama orang lain'? Yang mau mengorbankan kenyamanan dirinya demi membantu orang lain. Yang siap ditempatkan di mana aja bahkan daerah terpencil sekalipun dan gak dibayar." Aku pun menjelaskan panjang lebar.

THE NAKED JOBSEEKERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang