Dua jam kuhabiskan di pesawat untuk merenung. Kalau dipikir-pikir sikap Yuda tadi... dia pasti menyukaiku, kan?
Dipikirkan ribuan kali pun aku tetap berpendapat begitu. Bahkan ketika turbulensi, aku masih sibuk menganalisa arti pelukan tadi ketimbang memejamkan mata seraya bernyanyi dalam hati agar merasa tenang. Persahabatan? Rasa suka? Rasa cemas?
Atau aku terlalu percaya diri?
Aiyah, Radistya. Sejak menjadi pacar seorang Kenio rasa percaya dirimu boleh juga, hm?
Bahkan ketika aku sudah sampai di Jakarta, aku masih sibuk menimbang apakah sebaiknya aku menceritakan kejadian tersebut kepada Radith dan Ken atau tidak. Aku pernah dengar kata pepatah,
apa yang terjadi di suatu tempat, tinggalkanlah di sana.
Kurasa pepatah itu ada benarnya. Kali ini memang harus ditinggalkan di sana saja. Kalau Yuda berniat datang ke Jakarta, aku akan menghindar.
Tubuhku terasa ringan setelah membuat keputusan. Langkahku menuju area penjemputan semakin ringan. Seharusnya Pak Parno, sopir keluarga kami sudah sampai.
Mataku melirik ke kanan-kiri untuk mencari postur lelaki bertubuh sedikit berasa dengan uban menutupi seluruh rambut, tapi tidak kutemukan. Yang kutemui justru sosok lelaki dengan pakaian kerja lengkap dengan jas dan dasi berwaran biru gelap, menatapku seakan mengatakan "Aku Rumahmu".
Ya, lelaki itu Kenio.
Mataku membulat, senyumku pun merekah. Aku berlari bersemangat ke arah Ken dan memeluknya.
"Kamu seharusnya masih di Jerman!" kataku seraya tak melepaskan pelukan Ken.
Ken mengusap punggungku pelan dan mencium puncak kepalaku sekali. "Kejutan," ktanya singkat namun terdengar sangat manis.
"Aku nggak tahu kamu bisa melakukan hal-hal manis semacam ini," kataku ketika kami berdua sudah berada di mobil dan berkendara menuju rumahku. Ternyata keluargaku ikut bersekongkol dengan Ken dan sudah menyiapkan makan malam.
"Benarkah?" tanya Ken Seraya terseyum. Tangan kirinya sibuk menggenggam tanganku.
"Siapa yang sangka kapten basket sedingin kulkas di SMA kami bisa begitu manis?"
"Jadi, seharusnya kamu merasa beruntung," balas Ken seraya terkekeh.
"Aku memang beruntung." Aku balas tersenyum dan menggenggam tangan Kenio lebih erat.
"Kukira kamu baru akan pulang akhir pekan ini. Kenapa jauh lebih cepat? Apakah urusannya berjalan lancar?" tanyaku cerewet.
"Semua urusan berjalan lancar dan kupercepat karena...," Ken menggantungkan kalimatnya dan menatapku.
"Karena apa?"
"Karena aku punya pacar yang harus kutemui. Dia sangat cantik, jadi aku sedikit takut meninggalkannya terlalu lama. Ah..., apa harus kusebut calon istri?" Ken tampak pura-pura bimbang.
"KEN!" aku memukul-mukul bahu Ken pelan salah tingkah. Apa-apaan kalimatnya itu? Kami kan baru saja mulai berkencan. Namun, toh aku tersipu juga.
"Jadi, bagaimana perjalananmu di Makassar?"
Rasa senangku mendadak lenyap, berubah jadi rasa gugup. "Yah... begitu saja," jawabku singkat. Untungnya Ken tak melanjutkan pertanyaannya.
Kami lanjut membicarakan lagu di Radio, ternyata Ken memiliki selera musik yang sama deganku. Satu hal tambahan yang membuatku makin bersyukur memiliki Ken.
Di rumah Mama dan Papa menyambut kami di meja makan. Koperku diurus oleh Bi Lastri untuk di bawa ke kamar. Anehnya, tak ada Radith di sana. Meskipu tinggal di apartemen, biasanya anak itu pasti datang kalau ada acara makan malam keluarga seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Nerd
Romance"Kenapa semua orang selalu ngebandingin aku sama Radith? Aku tau penampilanku emang jadul, cupu, beda seratus depalan puluh derajat sama Radith yang super ganteng, keren, kece.. idaman banyak wanita lah pokoknya. Tapi hey, setiap orang punya pilihan...