Aku menenteng buku pemberian Kenio di tanganku. Mulutku tak bisa berhenti tersenyum saking senangnya. Semalaman aku telah menghabiskan waktu membaca setengah buku hingga subuh. Walaupun sekarang mataku terasa berat dan tubuhku agak lemas, aku tetap bersemangat pergi ke sekolah hari ini.
Pagi-pagi sekali aku sudah menaruh tasku di kelas. Radith ada pertandingan Basket pagi ini sehingga ia memutuskan untuk berlatih sebentar sebelum bertanding. Hari ini ia tidak akan mengikuti pelajaran sampai jam istirahat pertama. Dia mendapatkan dispensasi dari sekolah bersama anak-anak basket yang lain. Karena pertandingannya di adakan di stadion kota, aku tak mendapatkan izin untuk melihat Radith bertanding.
Agendaku setelah menaruh tas di kursi adalah menyusul Radith ke lapangan basket. Bukan untuk menontonnya berlatih, tetapi karena aku ingin bertemu dengan Kenio. Aku harus berterima kasih. Hadiahnya benar-benar mengagumkan dan harga lima buku tersebut setara dengan satu bulan uang jajanku. Entah kalau uang jajannya. Yang lebih penting, aku ingin bertanya, dari mana ia tahu kalau aku sedang menginginkan buku tersebut.
Aku melangkah meninggalkan kelas menuju lapangan basket. Seperti yang telah diperkirakan, Radith sudah aktif berlari-lari menggiring bola basket dari ujung kanan ke ujung kiri lapangan bersama beberapa anak basket yang lain. Kebetulan, kulihat Kenio baru melakukan pemanasan di pinggir lapangan. Dengan rasa gugup luar biasa aku berjalan menghampirinya seraya menenteng buku di tanganku.
Aku berdiri kikuk di samping Kenio persis, pura-pura memperhatikan Radith. Kulirik ia diam-diam, masih asyik melakukan pemanasan.
"Sudah siap untuk pertandingan hari ini?" tanyaku berusaha membuka percakapan dengan lelaki itu.
Kenio mengangguk singkat. Tidak berkata apapun. Aku mendesah kecewa. Bagaimana ini? Susah sekali mengajak bicara lelaki ini.
"Ngomong-ngomong, aku belum berterima kasih atas kado pemberian kamu." Di saat yang bersamaan, Kenio bangkit dan menegakkan tubuhnya. Dia juga memutar tubuhnya menghadapku sambil menatapku dengan tenang. Mendapatkan tatapan teduh lelaki itu, aku buru-buru menunduk.
"Terima kasih atas bukunya. Aku memang sudah berniat membelinya sejak bulan lalu."
"Sama-sama," jawab Kenio singkat. Entah bagaimana ekspresinya ketika mengucapakan itu, aku tak melihatnya karena sibuk memperhatikan sepatu Converse-ku.
"Kamu tahu dari mana kalau aku lagi ngincar buku ini?" Aku memberanikan diriku mengangkat kepala untuk menatap Kenio. Kulihat lelaki itu tersenyum jenaka.
"Saya nggak tahu. Saya cuma minta rekomendasi buku roman fantasi dari pelayan toko buku dan dia menyarankan saya untuk membeli satu set seri buku itu," jelas Kenio panjang lebar. Dia memutar pinggangnya ke kanan dan ke kiri untuk meregangkan otot. "Syukurlah kalau kamu suka." Dia tersenyum sekali lagi. Lalu, setelah berkata demikian, dia berlari kecil ke tengah lapangan meninggalkanku.
"Jangan lupa doakan semoga kami menang, ya!" ujarnya seraya melambaikan tangannya kepadaku.
Oh, Tuhan! Dia pasti tidak tahu kalau anak-anak perempuan dari kelas 10 IPS sedang melemparkan tatapan membunuh kepadaku.
Aku buru-buru menundukkan wajahku, lalu meninggalkan lapangan sebelum aku benar-benar terkapar di tempat.
****
Jam isitrahat sekolah.
From: +628112224343
Lihat Radith?
Alisku terangkat memabca pesan tersebut. Nomornya tak kukenal. Mungkinkah Lova?
Siapa ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Nerd
Romance"Kenapa semua orang selalu ngebandingin aku sama Radith? Aku tau penampilanku emang jadul, cupu, beda seratus depalan puluh derajat sama Radith yang super ganteng, keren, kece.. idaman banyak wanita lah pokoknya. Tapi hey, setiap orang punya pilihan...