Sabtu pagi. Rasa panik mulai melandaku. Radith tiba-tiba saja menghilang dan tak bisa kuhubungi. Mama dan Papa juga tak tahu ke mana Radith pergi sejak pagi. Dia hanya bilang mau pergi ke minimarket sebentar, tetapi sudah dua jam dia belum juga kembali. Aku mulai merengek kepada Mama yang menyebabkan Papa bertanya karena penasaran. Karena merasa malu kepada Papa, aku memilih bungkam dan kembali mengurung diriku di kamar. Kubuka lemariku lebar-lebar dan kuraih gaun yang kubeli bersama Meghan. Aku menatapnya dengan tubuh lesu. Kukeluarkan gaun itu dari lemari, setelah itu aku beranjak turun untuk melihat koleksi kosmetik milik Mama. Mungkin aku hanya akan mengenakan bedak dan lipstik tipis-tipis.
Aku mengeluarkan satu per satu alat kosmetik Mama dari dalam kotak kayu yang ada di meja rias di kamar Mama. Mataku membulat melihat koleksi lipstik Mama yang kebanyakan berwarna terang. Bisa dibayangkan kalau aku memakai gaun putih panjang dan lipstik semerah darah, lalu tampil dengan rambut kusut, sudah pasti aku akan memenangkan kontes "Seberapa mirip kah kamu dengan Suzana?" dan membawa pulang uang jutaan rupiah. Andai ini adalah pesta halloween!
Tak berapa lama, kudengar suara orang mengobrol dengan ribut dari arah ruang keluarga. Dari suaranya yang khas, kemungkinan itu Radith. Radith sudah pulang! Aku melemparkan lipstik di tanganku, kemudian bergegas berlari ke luar kamar, meninggalkan meja rias Mama dalam keadaan berantakan—tak peduli kalau nanti Mama akan mengomel—dan buru-buru menghampiri Radith.
Dia berdiri di ruang keluarga seraya menaruh kantung plastik di sofa. Keningku berkerut menatap belanjaan Radith.
"Itu apa?" tanyaku penasaran menunjuk kanutng belanja berwarna ungu pucat bergambar kupu-kupu.
Radith menolehkan kepalanya kepadaku. Wajahnya tampak riang dan bersemangat. "Ini gaun untuk kamu," katanya dengan santai. "Aku beli pakai uangku. Hitung-hitung ganti rugi uang kamu karena waktu itu kamu kecopetan gara-gara aku hehehe...."
Radith memandang ke sekeliling ruang keluarga, memastikan Mama dan Papa masih berada di dapur kemudian ia menarik tubuhku.
"Ayo kamu coba sana, di kamarmu. Nanti kasih lihat aku gimana hasilnya."
"Tunggu," kataku seraya menahan tubuh Radith. "Kamu beli ini sendirian?" tanyaku heran.
Radith cuma nyengir menjawab pertanyaanku. "Sama Ken. Mana mungkin aku pergi sendiri beli gaun perempuan? Kamu nggak mungkin berpikir begitu, kan?"
Rautku seketika berubah terkejut dan malu luar biasa. "ASTAGA! Aku memang nggak berpikir kamu bakalan beli gaun perempuan sendirian, tapi aku lebih nggak habis pikir lagi kalau kamu ngajak Kenio yang notabene bakal pergi sama aku ke pesta itu untuk beli gaun!"
Radith malah tertawa melihat raut kesalku. "Tadi Ken juga minta ditemani cari kemeja. Jadi, impas, kan? Gaun ini pilihan Kenio, lho!" ujar Radith bangga.
Dia tak mau lagi mendengar unjuk rasaku dan mendorong tubuhku sekuat tenaga agar menaiki tangga dan mengurungku di kamar.
"Jangan keluar sebelum kamu nyobain gaun itu!" seru Radith.
Aku bersandar di daun pintu kamarku. Mengintip ke dalam kantung belanjaan tersebut dan menemukan sepotong gaun berwarna merah muda. Kukeluarkan isinya dari sana. Mataku terpana menatap gaun itu. Cantik. Modelnya bertumpuk-tumpuk berlengan tali spaghetti dengan paduan bahan organza dan satin. Kuusap gaun terbut. Ada sedikit ornamen pita di bagian pinggangnya dan taburan glitter di bagian dadanya. Manis, tidak berlebihan.
Membayangkan Kenio yang memilihkan gaun itu untukku membuat wajahku merona.
Lelaki itu, bagaimana bisa begitu pandai memilih gaun? Apakah dia sering melakukannya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Nerd
Romance"Kenapa semua orang selalu ngebandingin aku sama Radith? Aku tau penampilanku emang jadul, cupu, beda seratus depalan puluh derajat sama Radith yang super ganteng, keren, kece.. idaman banyak wanita lah pokoknya. Tapi hey, setiap orang punya pilihan...