Hari ini ada pengambilan nilai olah raga renang. Aku memeluk diriku malu-malu. Baju renang hitam berlengan pendek sebatas paha membuatku terlihat seperti anjing laut. Bau kaporit mengganggu penciumanku. Riak air terciprat ke pinggir-pinggir kolam renang. Beberapa teman sekelasku sudah menyebur setelah melakukan pemanasan sementara aku baru saja keluar dari ruang ganti.
Bu Magdalena, guru olah ragaku muncul sambil membunyikan peluit. Tanda seluruh siswi wajib segera baris di pinggir kolam. Sebagai tambahan informasi, olah raga berenang ini dilakukan terpisah pelaksanaan waktunya bagi siswa dan siswi. Untuk mengefektifkan dan efisiensi waktu, biasanya pengambilan nilai dilakukan untuk tiga kelas sekaligus. Setiap kelas paling banyak memiliki tujuh belas siswi.
Kebetulaaaan sekali. Kebetulan yang menyebalkan, kelasku mendapatkan jatah pengambilan nilai bersamaan dengan kelas Lova. Oh, sungguh tubuh anak itu seakan mengintimidasi setiap tubuh perempuan di ruangan indoor ini. Dengan lekuk sempurna serta otot-otot halus yang terasa pas, Lova berjalan dengan percaya diri seperti seorang model catwalk pakaian renang wanita. Dia ikut berbaris bersama teman-temannya. Rambutnya yang hitam dan panjang digelung sampai ke atas dan ditutupi swim cap merah jambu. Radith mungkin akan mimisan melihat pemandangan ini. Aku bisa menceritakannya sampai dia memohon-mohon kepadaku untuk mengambil gambar Lova dengan ponselku.
Cih. Enak saja. Aku tidak akan mau.
Peluit terdengar nyaring lagi. Bu Magdalena memberikan isyarat dengan tangannya agar kami merapatkan barisan.
Aku berdiri di belakang Yuri. Tubuh gemuknya menghalangi pandanganku ke depan. Bu Magda menginstruksikan agar kami berhitung, setelahnya kami memulai pemanasan ulang. Selesai pemanasan, tiba waktunya pengambilan nilai. Kebetulan kelasku kebagian paling akhir, jadi aku masih menunggu sambil duduk-duduk di pinggir kolam. Saat aku melirik ke kanan, kulihat Lova berjalan mendekatiku. Dia tersenyum seraya melambaikan tangan, jadi refleks aku balas melambaikan tangan. Saat aku sadar, aku buru-buru menurunkan tanganku kembali.
Lova duduk di sampingku dengan cueknya. Tak sadar orang-orang memandang kami bagaikan langit dan bumi.
"Aku nggak terlalu suka bau kaporit." Lova mengeluh seraya mengibas-ngibaskan tangannya di depan hidung. "Kamu suka berenang?"
"Hm... biasa aja. Kamu tahu pasti, aku lebih suka baca buku. Radith nggak pernah absen mengatakan hal itu kepada setiap teman perempuannya," jelasku.
Senyum Lova melebar mendengar perkataanku. "Iya, Radith sempat cerita kalau kamu punya banyak sekali koleksi buku di kamarmu."
Aku tersenyum seadanya. Aku melirik ke bagian samping kiriku, tempat di mana teman-teman sekelas Lova berdiri.
"Kamu nggak gabung dengan mereka?" tanyaku berusaha membuat pertanyaanku tidak terkesan seperti pengusiran seraya menujuk teman-teman Lova yang sedang memperhatikan interaksi kami dengan pandangan meneliti.
"Oh, mereka sedang memperhatikan kita, pastinya. Mereka nggak percaya waktu aku bilang kita ini berteman. Aku nggak cuma dekat dengan Radith, tapi dengan adiknya juga."
Seketika aku menoleh menatap Lova dengan kedua alis terangkat.
Peluit berbunyi lagi, tanda pergantian gelombang pengambilan nilai. Kali ini giliran kelas Lova tiba.
"Sampai jumpa lagi, Adis!" seru perempuan cantik itu seraya meninggalkanku.
Usai pengambilan nilai, di ruang ganti, anak-anak perempuan biasa mengoceh tanpa habis. Ada yang menggosip, bernyayi, bahkan membacakan puisi karangannya. Mungkin ini bentuk pelampiasan karena mereka tak bisa menemukan tempat untuk mengoceh panjang lebar di sudut sekolah manapun tanpa perlu ditegur oleh guru selain tempat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Nerd
Romance"Kenapa semua orang selalu ngebandingin aku sama Radith? Aku tau penampilanku emang jadul, cupu, beda seratus depalan puluh derajat sama Radith yang super ganteng, keren, kece.. idaman banyak wanita lah pokoknya. Tapi hey, setiap orang punya pilihan...