"Dia pasti cuma sedang mencari-cari tumbal saja karena dia nggak tahu mau ngajak siapa." Aku mengunyah coklat di mulutku kelewat bersemangat.
Di seberang telepon, Meghan tertawa mendengar kisahku. "Mungkin dia benar-benar ingin mengajak kamu, Adis. Tidak baik berburuk sangka seperti itu."
"Demi Tuhan, dia itu kapten basket sekolah kami yang memiliki puluhan bahkan ratusan penggemar dan mudah saja baginya untuk meminta seorang perempuan menjadi pasangannya pada acara farewell party. Dia tinggal tunjuk dan seseorang akan muncul di hadapannya." Aku terus saja mencerocos sambil menggerogoti coklatku.
Tawa Meghan meledak. "Aduh, kamu ini lucu banget. Sama aja kayak Albert."
"Aku yakin Albert mengerti kalau orang-orang seperti kami benar-benar nggak tertarik dengan acara konyol seperti ini."
"Aku pernah datang sekali, waktu SMP kemarin. Nggak buruk juga kok. Aku masih bisa menikmatinya. Kamu juga harus mencobanya, Adis."
"Jadi, sekarang kamu berada di pihak yang sama dengan Radith?" tanyaku tak percaya.
"Yap. Kali ini aku mendukung pendapat Radith. Bukan karena Kenio yang mengajakmu, tetapi karena kamu harus memiliki pengalaman datang ke acara seperti ini."
Aku memberengut sebal kemudian mendesah lelah. "Aku... nggak tahu mau pakai baju apa ke acara seperti itu. Mana mungkin aku mengenakan kaus biasa dan celana jeans? Acara seperti ini memang merepotkan."
"Tenang, aku pasti akan membantu kamu. Jadi, kamu akan pergi, kan?"
Aku menatap langit-langit kamarku bimbang. "Entahlah. Akan kupertimbangkan lagi."
Setelah itu aku mengakhiri sesi curhat kami. Tubuhku masih berbalut seragam sekolah. Aku belum menggantinya sejak pulang tadi. Seharian ini di sekolah aku merasa begitu waswas akan berpapasan dengan Kenio. Siapa tahu dia berniat datang lagi. Hal ini lumayan membutuhkan energy karena jantungku terasa bekerja lebih ekstra.
Aku menggeser tubuhku ke tengah-tengah kasur lalu merentangkan tanganku selebar-lebarnya. Usiaku tujuh belas tahun dan aku belum pernah pergi ke pesta remaja seperti teman-temanku yang lain. Apa ada yang salah dengan itu?
Aku memijat pelipisku pelan. Tak berapa lama, aku justru terlelap setelah melihat jam dinding kamarku menunjukkan pukul setengah empat sore.
****
Satu minggu berlalu sejak Ken memberikan surat kepadaku.
Lapangan sekolah sore ini lebih ramai dari biasanya. Aku baru keluar dari kelas klub matematika ketika menemukan pemandangan tersebut. Lapangan basket dan lapangan voli sama-sama ramai. Kalau lapangan basket aku tak terlalu heran karena anak-anak basket memang sedang berkumpul untuk persiapan pertandingan. Entah kalau lapangan voli.
Aku berbelok menuju lapangan basket. Pemandangan menggelikan yang kudapat. Radith sedang memantul-mantulkan bola ke tanah seraya membuat pose-pose supercool. Di tepi lapangan, siswi-siswi kelas sepuluh menjerit histeris menyerukan nama Radith sekaligus memberikan dukungan dan semangat kepada anggota tim basket yang lain. Aku geleng-geleng kepala. Kupinggirkan tubuhku ke bagian sudut lapangan di mana anak-anak basket biasa menaruh tas mereka. Incaranku adalah tas Radith. Aku ingin menitipkan botol minumanku yang sudah kosong. Tas jinjingku tak lagi mampu menampung barang apaun setelah disematkan buku-buku soal baru dari Kak Putri.
Aku membungkuk, memasukkan botol minumanku ke dalam tas Radith. Begitu selesai dan aku hendak menegakkan tubuhku kembali, tubuhku refleks melompat ke samping melihat Kenio tiba-tiba muncul di sampingku.
"Astaga! Ya Tuhan!" aku menepuk-nepuk dadaku pelan.
Kenio menoleh dengan ekspresi datar. "Kenapa terkejut?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Nerd
Romance"Kenapa semua orang selalu ngebandingin aku sama Radith? Aku tau penampilanku emang jadul, cupu, beda seratus depalan puluh derajat sama Radith yang super ganteng, keren, kece.. idaman banyak wanita lah pokoknya. Tapi hey, setiap orang punya pilihan...