Radith sudah lebih baik di siang hari. Kesadarannya pulih sepenuhnya. Kini giliranku yang kacau. Rasanya setiap hal yang kukerjakan tak ada yang benar, tak tuntas.
Aku mengirimkan tautan berita tersebut kepada Kenio, tetapi lelaki itu hanya memintaku menganggap berita itu seperti angin lalu. Ia bilang, itu hanyalah ulah iseng wartawan. Kebetulan saja ia ada di sana bersama Arianda.
Kebetulan katanya? Ia berharap aku percaya akan kebetulan bahwa Kenio bertemu dengan seorang mantan ratu kecantikan di bandara?
Rasa gusar menguasaiku hari ini. Aku juga menolak ajakan makan siang Kenio dengan alasan sibuk, juga Radith. Dia perlu sedikit diinterogasi.
Aku mengetuk pintu ruangan Radith dah masuk. Di kursinya ia duduk bersandar sambil memandang layar komputer. Pakaiannya sudah berganti, entah kapan ia membersihkan tubuhnya, aku tak mengetahui dengan jelas. Yang pasti, penampilan Radith saat ini jauh lebih baik.
"Hari yang kacau?" tanya Radith begitu melihatku. Hari ini aku baru melihat Radith tersenyum.
"Sepertimu," balasku dan duduk di kursi di depan Radith. "Aku menolak ajaka makan siang Kenio. Aku akan ikut pesan makan siang denganmu."
"Kenapa kamu nggak makan bareng Kenio?"
Satu alisku naik. "Kamu belum lihat beritanya?" tanyaku sewot. Padahal tadi aku juga sudah mengirimkan tautan berita tersebut kepada Radith.
"Aku baru cukup sadar untuk melakukan segala hal. Ceritakan secara singkat kepadaku alasan kalian bertengkar."
Aku bersedekap kesal. "Kenio masuk headline berita, tertangkap berdua dengan mantan ratu kecantikan di bandara. Cih, dia bahkan mengenakan pakaian yang sama ketika menjemputku di bandara kemarin. Benar-benar tak bisa dipercaya."
Tak seperti dugaanku, Radith justru bersikap santai. Apa karena Ken sahabatnya, jadi Radith memaklumi?
"Yah, aku juga pernah dengar kalau Ken punya sahabat perempuan selama di Jerman. Mungkin orang itu yang dimaksud. Nggak perlu cemburu berlebihan. Anggap saja angin lalu."
Saat itu juga aku menggebrak meja Radith, membuat Radith terlonjak. "Nggak bisa begitu!"
Tubuhku maju mengintimidasi Radith. Tanganku naik menunjuk lelaki itu, mataku pun seakan siap menerkamnya.
"KALIAN PARA LELAKI SEHARUSNYA BERSIKAP LEBIH HATI-HATI. KENAPA KALIAN PAYAH SEKALI DALAM MENJAGA PERASAAN PEREMPUAN? APAKAH ITU ADALAH HAL YANG AMAT SULIT DILAKUKAN?"
Tanganku meraih dasi Radith dan menariknya dengan emosi.
"MASA BODOH DENGAN SIKAP HANGAT BERSAHABAT! KALAU SUDAH PUNYA PASANGAN ITU, HATI-HATI DONG DALAM BERGAUL!"
Radith menepis tanganku di dasinya. Benda tak berdosa itu tergolek layu di dada Radith.
"Lalu bagaimana dengan kamu sendiri? Kamu pikir aku belum dengar cerita tentang 'pelukan hangat di bandara' dari Yuda?" tantang Radith dengan satu sudut bibit terangkat.
Aku pun terkesiap. "Apa yang Yuda ceritakan sama kamu?"
Radith balas menatapku garang. "Bahwa ia senang sekali bisa menghabiskan waktu dengan kamu di Makassar, apalagi saat pergi ke toko buku dan ia berniat untuk menemui kamu di Jakarta! Ha! Itu kah yang kamu maksud hati-hati dalam bergaul?"
Dadaku naik-turun karena napasku terengah-engah. Sial. Sial. Sial. Kenapa Yuda cerita terlalu banyak kepada Radith? Lagian apa spesialnya pergi ke toko buku?
"Aku nggak melakukan apapun terhadap Yuda. Dia yang memulainya."
"Aku tahu, Adis, makanya aku nggak memperpanjang hal itu. Karena aku percaya kamu. Begitu juga dengan Ken. Aku percaya Ken nggak mungkin melakukan hal semacam ini. Jadi, pergilah. Baikan dengan Ken."
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Nerd
Romance"Kenapa semua orang selalu ngebandingin aku sama Radith? Aku tau penampilanku emang jadul, cupu, beda seratus depalan puluh derajat sama Radith yang super ganteng, keren, kece.. idaman banyak wanita lah pokoknya. Tapi hey, setiap orang punya pilihan...