Duk Duk Duk.
Aku berlari melalui pintu penghubung kamarku dengan Radith. Ini masih terlalu pagi bagi Radith untuk bangun walaupun ini adalah hari Senin. Hari yang tepat untuk merayakan ulang tahun kami yang ketujuh belas. Ya Tuhan, kami sudah tujuh belas tahun!
Tujuh belas tahun berarti boleh punya KTP.
Tujuh belas tahun berarti kami telah dewasa.
Tujuh belas tahun berarti... bisa bebaaasss!
Aku mengguncang-guncang tubuh Radith kelewat bersemangat.
"RADITH! RADITH! SELAMAT ULANG TAHUN!" Aku berbicara seakan dunia akan kiamat besok. Sebagai saudara kembarnya, aku harus menjadi orang pertama yang mengucapkan hal itu kepada Radith.
Bisa kudengar suara pintu kamar Mama dan Papa terbuka lalu tertutup dengan cepat di bawah. Selanjutnya terdengar suara langkah kaki menaiki tangga dengan terburu-buru. Mama dan Papa muncul diambang pintu tepat ketika aku kembali mengguncang-guncang tubuh Radith dengan kekuatan 10 skala richter dan kembali berseru nyaring.
"RADIIIITTHHH BANGUUNNN! INI HARI ULANG TAHUN KITA! CUMA SETAHUN SEKALI! NGGAK BOLEH DISIA-SIAKAN!"
Radith bergelung ke dalam selimut malas-malasan. "Hm...."
"RADITH, BANGUN! SELAMAT ULANG TAHUN!"
"Ya... Ya... terima kasih," ujar Radith kemudian menarik bantal untuk menutupi wajahnya. Aku dengan sigap meraih bantal tersebut dan melemparnya jauh-jauh. Tidak boleh begini. Apa dia bilang? Cuma terima kasih? Yang ulang tahun kan bukan hanya dia.
Mama dan Papa melangkah masuk sambil tersenyum dan geleng-geleng kepala. Aku menarik selimut sehingga tubuh Radith meringkuk kedinginan.
"Eh... balikin dong selimutku," pinta Radith setengah sadar.
Selanjutnya, Mama mulai menghadiahi Radith puluhan ciuman di sekitar kening dan pipinya sementara Papa duduk di sampingku. Radith bangkit ogah-ogahan. Tangannya mengusap wajah dan rambutnya sehingga rambutnya menjadi cepak berantakan.
"Kenapa sih kalian mengganggu tidurku yang nyenyak? Padahal tadi aku dan Lova hampir aja...." Radith terdiam seketika. Tubuhnya tegak dan kaku menyadari Papa kini memandanginya penasaran.
"Siapa itu Lova?"
Radith membungkam mulutku dengan cepat sebelum aku menjawab pertanyaan Papa.
"Oh, Lova itu teman sekolah kami. Tadi aku habis mimpi berpetualang di sekolah." Radith buru-buru beralasan.
Papa dan Mama percaya-percaya saja. Buktinya mereka hanya menganggut-anggut. Tak lama kemudian, Mbak Asih, pekerja rumah tangga kami datang, membawakan kue dengan ukuran cukup besar dengan dua buah lilin angka "17" di kedua sisi kue—seperti tradisi kami setiap ulang tahun—berlapis coklat tersebut. Cokelat di mana-mana. Oh, ini kesukaanku!
Aku menyambut kedatangan kue itu dengan hati gembira.
Aku duduk manis di sebelah Radith yang kini telak tampak sadar sepenuhnya. Kepalaku sibuk membuat daftar susunan doa yang ingin kupanjatkan di usia yang ketujuh belas tahun ini.
Aku dan Radith sama-sama memejamkan mata, memanjatkan doa dengan sepenuh hati, kemudian kami meniup lilin bersamaan. Radith memelukku erat setelah meniup lilin selagi Mama dan Papa memotong kue untuk kami.
"Apa yang kamu minta tahun ini?" tanya Radith bersemangat.
"Hm... banyak," jawabku, "yang pasti aku berdoa supaya aku sama kamu selalu rukun dan bersama-sama. Kalau kamu?"
Radith tersenyum lebar. Ia mendekatkan kepalanya kepadaku dan berbisik pelan.
"Aku juga doa begitu, tapi ada lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Nerd
Romance"Kenapa semua orang selalu ngebandingin aku sama Radith? Aku tau penampilanku emang jadul, cupu, beda seratus depalan puluh derajat sama Radith yang super ganteng, keren, kece.. idaman banyak wanita lah pokoknya. Tapi hey, setiap orang punya pilihan...