Mata pelajaran seni bukan keahlianku. Radith lebih jago menggambar dan bermain musik ketimbang aku. Apalagi menggombal, dia rajanya. Radith mewarisi jari-jari lentik milik Mama yang pintar bermain piano serta keandalan Papa bermain gitar. Keahlianku hanya sedikit bisa menyanyi, itu saja. Kalau aku bisa menghindari mata pelajaran ini, pasti sudah kulakukan sejak awal. Jangankan menggambar perspektif gedung-gedung pencakar langit, membuat garis lurus dengan penggaris saja aku perlu melakukannya berulang-ulang.
Aku punya sistem barter dengan Radith. Aku selalu memintanya mengerjakan tugas karya seniku, sebagai gantinya, Radith selalu meminta bantuanku mengerjakan tugasnya selagi ia berkencan. Entah itu matematika, biologi, kimia, ataupun fisika. Saat ini aku sedang meminta tolong Radith menggambarkan perspektif lanskap monas lengkap dengan hiasan orang yang berlalu lalang serta pedagang kaki lima di sekitarnya. Kami mengerjakannya di perpustakaan sekolah setelah bel pelajaran terakhir.
Aku memperhatikan tangan cakap Radith bergerak membentuk garis menyilang di sana-sini bagian kertas, membuatku pusing dan bingung. Dia menebalkan beberapa garis hingga membentuk objek. Sekarang bentuk monasnya sudah mulai terlihat. Radith telah mengerjakan gambar tersebut lebih dari satu jam. Mulai dari tiga titik hilang sampai terbentuk beberapa objek.
"Kamu lebih suka tukang gorengan, kerak telor, mie ayam, dan tukang balon sama layangan, atau ada permintaan yang lain? Atau hanya urutannya saja yang aku ganti?"
"Memangnya penting ya?" tanyaku sarkastis, melepaskan topangan daguku di kedua tangan.
"Penting. Kalau tukang kerak telornya aku taruh di belakang gerobak mie ayam nanti nggak kelihatan dong abangnya lagi mejeng."
Aku menggeleng-geleng sementara Radith terkekeh. "Terserah kamu deh. Pokoknya aku terima beres."
"Tapi kamu jangan lupa kerjain tugas matematikaku, ya. Nanti malam aku mau nemenin Lova nonton konser musik akustik."
Aku mengerutkan keningku. "Lova? Maksud kamu Vaelova anak pindahan yang masuk ke klub matematika?"
Radith mengangguk santai. Dia menyelipkan pensil ke telinga lalu menghapus beberapa garis halus. Lidahnya terjulur ke bagian atas bibirnya. Matanya tetap fokus pada kertas.
"Dia bahkan belum seminggu pindah ke sekolah ini dan kamu udah ngajak dia jalan? Astaga, Radith!" Aku menggebrak meja, peringatan keras langsung dilayangkan Bu Firda dari meja administrasi perpustakaan.
Radith menggeleng-geleng menatapku. "Lihat kelakuan kamu di perpustakaan. Bikin malu aja ckck...."
Aku menatap Radith terbelalak. Bisa-bisanya dia berkata begitu. "Ya Tuhan... aku bahkan nggak tahu kapan kamu kenalan dengan anak baru itu." Aku mendengus sinis.
"Kita kenalan sehari setelah aku ngajak kamu nongkrong di warung bakso. Kita ketemu di kantin dan langsung aku ajak kenalan. Kamu tahu kan aku nggak suka basa-basi."
"Hoo... tentu aku tahu. Kamu kan kayak kucing. Nggak bisa lihat ikan asin nganggur."
"Ih, sori, ya. Kita mah makannya Whiskas." Radith melambaikan tangannya dengan gemulai, membuatku tertawa geli. Lagi-lagi aku mendapat teguran dari Bu Firda.
Kami memutuskan untuk menyudahi kegiatan kami di perpustakaan pukul setengah empat sore. Radith sudah menyelesaikan sebagian besar gambarnya. Aku hanya perlu mengarsirnya sedikit. Akan kukerjakan besok sebelum kelas dimulai. Kami (sialnya) berpapasan dengan Kenio di tengah koridor. Dia membawa setumpuk buku, di belakangnya ada Mr. Hendra, guru bahasa Inggris. Radith menyapa Kenio singkat dan cowok itu hanya membalas dengan kedua alis mengangkat singkat.
"Mau ke mana?" tanya Radith.
"Bantu Pak Hendra bawa buku ke perpus."
"Gue duluan, ya!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Nerd
Romance"Kenapa semua orang selalu ngebandingin aku sama Radith? Aku tau penampilanku emang jadul, cupu, beda seratus depalan puluh derajat sama Radith yang super ganteng, keren, kece.. idaman banyak wanita lah pokoknya. Tapi hey, setiap orang punya pilihan...