03

2.7K 351 4
                                    

Gue tidur lama. Sampai kelewat solat maghrib dan isya.

Gak tau deh, itu tidur, pingsan atau simulasi meninggal. Yang jelas, gue bangun pas jam nunjukkin pukul empat -dan gue lihat, langit masih gelap. Gue masih denger suara tahrim dari masjid yang gak jauh dari rumah. Tanda sebentar lagi adzan subuh.

Badan gue masih berasa lemes -meski pusingnya udah agak berkurang. Tapi sesak napasnya masih. Batuknya juga masih.

Gue mengedarkan pandangan. Abang gak nemenin di kamar. Yang gue lihat justru Bapak yang tidur nyenyak berselimut sarung BHS kesayangan dengan menggelar kasur lipat di lantai. Wajahnya lelah.

Apakah Bapak nungguin gue semaleman?

Bapak pasti capek -karena sebelumnya beliau lagi fokus ngurusin cabang baru toko kainnya di Purwakarta. Gue juga bahkan baru sadar bahwa tidak seharusnya Abang gue ada di rumah, kemarin. Semenjak kerja di kantor pusat Toko Oren di wilayah SCBD, Abang memutuskan untuk ngontrak kamar di dekat sana -dan pulang ke rumah dua minggu sekali. Abang pulang ke rumah diluar jadwal, yang artinya dia punya sesuatu yang penting untuk dilakukan dirumah, kan? Tapi ketika pulang, mereka malah ngurusin gue yang sakit.

Rasa ingin menabok kepala gue sendiri semakin meningkat. Goblok banget gue nyusahin orang-orang gara-gara sakit.

Lagi sibuk-sibuknya menyalahkan diri sendiri, tiba-tiba Bapak bangun. Mandang gue dengan tatapan beler khas orang bangun tidur.

"Adek udah bangun...?" tanyanya -yang disusul nguap lebar. Terus beliau nyentuh dahi gue dan senyum kecil, "Alhamdulillah, panasnya udah turun. Badannya masih sakit? Sesak nggak?"

Gue ngangguk kecil. Tapi terus geleng kepala. Lupa, bahwa harusnya gue bisa lebih kuat dan nggak ngeluh ke Bapak atau ke Abang. "udah nggak begitu sakit sih."

Bapak ngangguk doang, terus bilang, "tapi Adek masih pucet banget. Nanti nggak usah sekolah dulu, ya? Ke dokter dulu."

"Asa nggak papa, Pak."

Bapak ketawa terus bangkit berdiri, "kalau semalem Bapak nggak bantuin Abangmu, Bapak pasti percaya kalau kamu bilang nggak papa. Tapi karena semalem Bapak lihat sendiri keadaanmu kayak gimana, jadi Bapak nggak bisa percaya kalau kamu udah nggak apa-apa." Katanya. "Adek bisa bangun nggak? Bapak mau siap-siap shalat subuh dulu."

"bisa, Pak. Bapak duluan aja. Asa subuhan di rumah."

Bapak mengangguk sambil lalu.


-----


Pulang subuhan, Bang Rey sama Bapak bawain gue bubur ayam dari simpang tiga dekat masjid. Mereka suruh gue makan dulu sebelum nanti agak siangan pergi periksa ke rumah sakit. Ibu yang dengar gue mau periksa kelihatan bodo amat. Tidak melarang, menyanggah atau mengeluargkan sepatah katapun. Beliau cuma dengerin perdebatan Abang dan gue dengan wajah datar lalu pergi. Buru-buru bersiap dengan alasan ada meeting pagi -padahal gue sadari betul bahwa beliau hanya sedang mempertunjukkan betapa tidak pedulinya dia pada gue.

Tapi jujur, gue nggak ngerti kenapa pada maksa banget harus periksa. Awalnya gue protes, karena gue ada jadwal ulangan harian. Tapi Abang kelihatan nggak bisa di bantah. Yang berakhir dengan gue yang menurut patuh seperti kerbau yang dicucuk hidungnya.

Sampai di rumah sakit, Abang yang sibuk daftar ke bagian administrasi, sedangkan gue duduk di kursi tunggu bareng Bapak -tapi Bapak sibuk sendiri sama ponselnya. Setelah bengong nunggu antrian selama setengah jam, akhirnya giliran gue periksa tiba.

Tau nggak apa yang bikin kaget?

Yep, Abang mendaftarkan gue ke poliklinik pulmonologi dan respirasi.

CHRYSANTHEMUM || NJMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang