15

2.9K 355 52
                                    

Bapak menemani Asa sembari membacakan ayat-ayat quran. Sesekali memijat putranya yang malam ini tertidur dengan begitu nyaman dan wajah yang terlihat berseri. Tadi sebelum lelap, Asa sempat meminta dibisiki berapa kali di telinga tentang betapa sayang Bapak padanya. Asa langsung tersenyum gembira.



Jarum jam berdetak cepat. Asa terbangun pukul dua pagi karena batuk yang tak kunjung berhenti.



"kenapa, Dek?" Tanya Bapak sedikit panik. Suara mengi Asa membuat Bapak bergegas menekan nurse call.



Asa meringis. Mulutnya terbuka untuk mengais udara. Genggamannya pada Bapak mengerat. Dengan penuh ketakutan, wajahnya memohon untuk tidak ditinggalkan. Segerombolan perawat yang masuk ke ruangan membuat Irina dan Ibu yang nyaris jatuh tertidur di depan ruang ICU itu terbangun dengan kaget. Mereka menatap pergerakan ribut para tenaga medis melalui pintu kaca.



"permisi dulu ya, Pak." Salah satu perawat berujar dengan sopan. Meminta Bapak menyingkir agar tidak mengganggu kinerja tenaga medis.



Perawat itu melepas plester yang merekatkan selang nasal kanul yang melintang di pipi. Mengganti nasal kanul dengan masker oksigen. Keterangan saturasi oksigen yang terus turun menimbulkan bunyi pada monitor bed.



Namun genggaman Asa pada jemari Bapak membuat Bapak meragu untuk menyingkir. Seolah jika genggamannya terlepas, maka ia takkan memiliki kesempatan lagi untuk menggenggam Asa di sisinya. Padahal beliau mengerti, bahwa posisinya mengganggu beberapa perawat yang tengah menolong Asa.



"Pak... mohon kerja samanya." Kembali, seorang suster berujar menegur Bapak dengan nada jengkel. Sedari tadi pergerakannya untuk menolong pasien terhalang oleh keberadaan Bapak. "silahkan keluar terlebih dahulu."



Bapak manut. Melepaskan Asa dengan berat hati.



Hanya tinggal selangkah lagi saat Bapak keluar dari ruangan itu -ketika para perawat jaga berseru tentang tubuh Asa yang kejang. Serta flat line yang menimbulkan bunyi nyaring yang terdengar hingga keluar ruangan.



Sirine code blue menggema. Menarik beberapa dokter jaga di ICU untuk memberikan bantuan dan menyingkirkan Bapak keluar ruangan. Memaksa Bapak, Ibu juga Irina memperhatikan dengan penuh kalut dari pintu kaca. Airmata berlomba untuk jatuh.



Mereka menyaksikan, bagaimana tenaga medis di ruangan itu seolah di buru waktu untuk memasangkan berbagai alat bantu pada tubuh ringkih Asa. Wajah-wajah frustasi mereka tergambar jelas saat detik-detik berlalu dengan tanpa perubahan. Suara serupa denging nyamuk yang berasal dari monitor tak jua berhenti. Garis zigzag tak jua muncul untuk menggantikan flat line di monitor.



"kabari dokter Yulius dan dokter Pandu. Pasiennya di ruang ICU mengalami serangan jantung." Seru salah seorang dokter jaga pada perawat di sampingnya.



"Baik, Dok." Perawat muda bergegas keluar ruangan untuk melakukan titah dokter. Namun tak memberikan kalimat apapun saat Irina menghentikannya untuk meminta penjelasan.



Dalam kamar ICU itu, seorang dokter terfokus melakukan kompresi dada sementara dokter satunya bersiap dengan alat kejut jantung. Menepatkan bantalan pada dada Asa sebelum benda berarus listrik itu menyentuh permukaan dada.



Dua kali percobaan, dan flat line itu belum menunjukkan perubahan.



"dok..." dokter residen yang bertugas mengkompresi dada mulai nampak kelelahan. Delapan menit tanpa perubahan. Nyaris menyerah.



"tetap fokus kompresi dada!" seru dokter yang masih memegang alat kejut jantung di kedua tangannya. "kita coba lagi!"



Beberapa orang di ruangan sudah menunjukkan raut terpukul dan kehilangan harapan. Keringat bercucuran dengan cukup banyak -namun tanda-tanda kehidupan tak jua nampak. Ini masih terlalu pagi, untuk memulai hari. Masih terlalu gelap untuk menyambut kehilangan.

CHRYSANTHEMUM || NJMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang