04

2.7K 352 8
                                    

Gue izin sakit selama dua hari -dengan surat keterangan istirahat dari dokter. Lalu di hari ketiga, dengan susah payah gue meyakinkan Bapak dan Abang, dengan bilang bahwa kondisi gue sudah berangsur membaik. Udah nggak mual muntah lagi; nggak demam juga -meskipun batuk gue terdengar lebih sering dari biasanya. Tapi gue beralasan bahwa itu karena gue keseringan makan gorengan sama minum es aja. Sehingga gue nggak perlu istirahat lebih lama dirumah.



Jadi, setelah istirahat dua hari di rumah, gue kembali ke sekolah dan menjalani hukuman gue yang digeser hari, tanpa keringanan. Tapi gue bersyukur karena Pak Gusman tuh baik banget; selama apapun gue ngebersihin toilet, dia tetap dengan sabar nungguin gue selesai tanpa ngomel. Kadang gue di bantuin. Kadang juga di temenin ngobrol. Gue juga masih sering diminta bantuan untuk ngerjain PR punya temen-temen. Masih sering jadi tumbal temen-temen sekelas buat disuruh-suruh guru.



Intinya, nggak ada yang berubah sama dunia gue.



Kayak sekarang, ketika guru PKn meminta bantuan gue untuk memeriksa hasil ulangan harian temen-temen kelas 9, gue dengan senang hati melakukannya. Merelakan tujuh puluh menit waktu gue dihabiskan untuk memeriksa dua puluh lima soal pilihan ganda di seratus dua puluh delapan lembar jawaban.



Imbalannya? Gue dapet ucapan terimakasih dan senyum tulus dari Bu Ine -guru PKn gue. Gitu doang, sih. Tapi Ibu Ine tuh emang tulus banget. Gue jadi nggak tega nolaknya. Sekalipun gue jadi pulang telat -padahal napas gue mulai engap-engapan lagi.



"terimakasih ya Asa, udah bantuin Ibu."



Gue mengangguk seraya tersenyum kecil, "iya, Bu."



"langsung pulang loh ya... jangan ngelayap dulu!" peringat Bu Ine yang gue angguki sekilas.



Gue pamit seraya mengamit lengan bu Ine.



Baru aja gue keluar dari ruang guru, ada sosok yang agaknya gue kenal lagi jalan kayak orang linglung ke arah tangga.

Jalannya pelan banget sampe gue pikir, dia mau jatuh tiap ngelangkah. Tapi gue sama sekali tidak berinisiatif untuk nyamperin. Malah, niat awalnya gue mau bodo amat aja. Karena sejujurnya, gue nggak ingin ikut campur. Tapi kayaknya, orang itu punya magnet kuat sampe tanpa sadar gue ngikutin dia sampe rooftop secara sukarela.



Kibasan angin di rooftop yang akhirnya menerbangkan anak-anak rambut orang itu sampai gue bisa melihat side profile Hamdan. Wajahnya kelihatan sedih mendongak kelangit dengan tubuhnya berada serapat mungkin di sisi pembatas rooftop. Dan gue cuma ngeliatin dia dari jauh sambil nahan diri buat nggak batuk.



Gue lihat Hamdan tuh kayak orang bingung gitu. Dia liatin langit, terus liat ke bawah -dimana jarak rooftop dan permukaan tanah itu setinggi tiga lantai bangunan.



"kalau lo jatuh dari situ sih, paling banter patah tulang atau lumpuh." Kata gue -yang ternyata gatel juga nggak bisa menahan diri. "kecuali lo bisa memastikan saat jatuh, kepala lo duluan yang kena -baru kemungkinan lo meninggal lebih tinggi."



Hamdan melihat ke arah gue dengan wajah nggak suka. Seolah ritual sucinya sedang diganggu. "gue nggak berencana mau bunuh diri tuh."



Jawaban dia bikin gue ketawa sampe batuk-batuk. Emang sialan! Ini gara-gara Ibu sama Nino, gue jadi sering batuk nggak berhenti-berhenti! "terus, mau ngapain?"



Hamdan menggendikkan bahu. Lalu mengeluarkan sekotak LA light merah dari saku celana birunya. "lagi check situasi."



Gue ketawa lagi, "ketahuan anak OSIS, abis lo suruh ngepel toilet." Memberi wejangan sebagai yang berpengalaman.

CHRYSANTHEMUM || NJMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang