13

2.5K 321 17
                                    

Adzan subuh sudah lewat beberapa menit lalu. Namun Bapak belum nampak keberadaannya di area rumah sakit, setelah semalam memutuskan pulang. Ibu masih dengan khusyuk berdzikir di area musholla yang tak jauh dari bangsal ICU -seraya sesekali melirik jam dinding yang tergantung disana.



Butuh waktu sekitar lima menit untuk Ibu memantapkan hatinya. Melepas rukuh sebelum kemudian melangkah menyusuri selasar ICU. Berbicara pada penanggung jawab ruangan untuk diberi izin masuk. Perawat jaga itu mengangguk dan tersenyum dengan permintaan Ibu. Memberikan ibu satu set pakaian steril untuk memasuki ruang ICU.



Reyhan masih terkantuk-kantuk saat Ibu menepuk pelan bahunya untuk membangunkannya. Wajah beler khas bangun tidurnya masih nampak tampan meski berpadu dengan tatap kaget.



"Bu..." ujarnya dengan suara agak serak. "kenapa?"



"shalat subuh dulu, kamu... biar Ibu yang jaga."



Reyhan mengangguk paham. Mengusap wajah mengantuknya sebentar sebelum bangkit berdiri. "makasih ya, Bu."



Ibu hanya mengangguk tipis. Menggantikan telapak tangan Reyhan untuk menggenggam telapak tangan Asa yang nampak kurus dengan hiasan oxymeter di ujung hari telunjunya. Asa bergerak kecil. Lebih erat memegang jemari Ibu tanpa membuka matanya.



Selepas kepergian Reyhan dari ruang rawat ICU, Ibu hanya duduk diam sembari menatap Asa dengan pandangan yang sulit di artikan. Tanpa sadar, jemarinya memijat kecil telapak tangan Asa untuk menyalurkan kenyamanan.



"sakit, kah?" lirih Ibu bertanya saat Asa menggeliat tak nyaman meski dengan mata terpejam. Menyimpan air matanya untuk tidak jatuh karena terluka menatap kondisi Asa yang jauh dari kata baik. Tubuh remaja itu nampak sangat kurus dan menyedihkan. Dalam lelap, Ibu bahkan masih bisa melihat Asa yang kesulitan mengais oksigen meski alat bantu bertengger menutupi sepertiga wajahnya.



"ayo lebih keras kepala merayu Tuhan..." ujar Ibu. "lawan sakitnya, ya...!!"



Pada akhirnya, perempuan paruh baya itu menjatuhan air matanya di lengan Asa. Meski suara isak ia tahan mati-matian. Jemarinya yang lain mengusap kecil pipi Asa. Menyalurkan sisa kehangatan. Bahwa sejatinya, ia tetaplah seorang ibu meski dengan segala luka yang bercokol di hatinya.



"karena Ibu juga ingin keras kepala, untuk meminta kamu tetap tinggal." Lirih Ibu, "jangan pernah pergi tanpa persetujuan Ibu..."



Meski dengan segala kebencian yang meraja di dadanya, Ginatri takkan pernah siap untuk kehilangan Asa. Tidak akan pernah.



-----



Asa terbangun agak siang. Tubuhnya terasa lebih ringan; pula dengan napasnya yang tak seberat kemarin. Bonusnya, ia mendapati Bapak tengah tersenyum disisinya.



"selamat pagi," sapa Bapak dengan senyum penuh. "gimana perasaanmu pagi ini?"



"baik." Jawab Asa dengan ringan. Ia bahkan baru menyadari bahwa masker oksigen yang semalam masih bertengger memenuhi sepertiga wajahnya kini sudah berganti dengan nasal kanul.



Bapak mengusap puncak kepala Asa dengan ucapan syukur.



Dokter sudah visit satu jam sebelum Asa terbangun, tadi. Dan hasil pemeriksaannya cukup baik. Saturasi oksigennya naik ke angka 90%. Sebuah kemajuan. Ritme jantungnya berdetak stabil. Semuanya dalam catatan baik. Dokter Yulius bahkan cukup bangga dengan perjuangan Asa. Membuat Bapak tak henti mengucap syukur sedari tadi.



"kalau kondisi Adek terus baik begini, dalam beberapa hari kedepan, boleh dipindah ke ruang rawat biasa." Ujar Bapak.



"hehehe... kirain boleh pulang." Asa nyengir.

CHRYSANTHEMUM || NJMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang