06

2.4K 355 23
                                    

"Pak?" suara Asa mengalun pelan mengisi kekosongan sepanjang perjalanan pulang dari rumah Nino. "Nino nangis pas ibunya meninggal. Padahal kata Revan, mereka nggak deket."

Bapak tersenyum sumir mendengar kalimat Asa. "nggak ada yang bisa memutus ikatan antara ibu dan anak, Dek. Revan kan cuma orang luar. Yang dia lihat cuma bagian kulit -sedangkan isi hati manusia nggak ada yang pernah tau."

"kalau Asa meninggal, Ibu sedih juga nggak ya?" tanyanya dengan setengah melamun. Kepalanya bersandar pada pintu mobil dengan mata yang mencoba terpejam, "Bapak sedih juga nggak? Kak Irina sama Bang Rey gimana?"

Bapak terdiam seraya melirik ke arah Asa, "ngelantur lagi, kamu." Gumam Bapak. "kepalamu sakit kah, Dek?"

"Pak..." Asa memanggil tanpa menanggapi tanya Bapak -sepertimana Bapak mengabaikan pertanyaannya. "kalau Asa sekarat, jangan ditinggal sendirian, ya! Bapak sama Ibu gantian temenin Asa. Biar kalau malaikat izrail mampir, Asa ada yang talqin."

Bapak tiba-tiba membanting steer-nya ke kiri dan menginjak pedal rem. Menepi. Memandangi Asa dengan gurat wajah tidak terbaca. Entah kesal atau marah yang mendominasi -namun Bapak tak berujar apapun setelah dua kali menarik napas dalam.

"islam boleh di kremasi nggak, Pak?" tanya Asa -yang masih memejamkan matanya dan mengabaikan bagaimana ekspresi Bapak. Tidak pula mempertanyakan mengapa mobilnya berhenti dan menepi.

"Dek..."

"kalau mau di larung ke laut, Asa di kremasi dulu ya, Pak. Jangan jasad utuh. Nanti kalau jasad Asa kena jaring nelayan, nelayannya trauma." Asa masih mengoceh, "tapi kalau bisa sih dikuburin aja, ya Pak..."

"Dek...!"

"mahal biaya kremasi atau dikubur sih, Pak?"

"ASA!" Bapak menaikkan nada suaranya. Membuat Asa membuka mata dan menatap pria paruh baya itu dengan senyum asimetrisnya.

"Asa lagi mikir... gimana caranya kalau Asa meninggal nanti nggak ngerepotin Bapak sama Ibu."

"ngelantur!" seru Bapak seraya menurunkan rem tangan. Bersiap melajukan lagi mobilnya -meski tanya Asa selanjutnya menjeda pergerakannya.

"Bapak sayang Asa nggak sih?" tanya Asa.

Bapak menyipit menatap Asa usai mendapat tanya itu.

Namun keterdiaman Bapak lagi-lagi memunculkan perasaan tertolak di hati Asa.

Asa tidak menampik bahwa Bapak, Ibu, Kak Irina dan Bang Reyhan mencurahkan segalanya untuk Asa. Namun mereka tak selalunya membisikkan kalimat itu di telinga. Asa sedang lemah -dan ia butuh pengakuan. Ia butuh diteriakki bahwa dunia pun menyayanginya. Namun kenapa semua orang melakukannya dalam senyap?

"di dunia ini, ada yang sayang Asa nggak?" lirih Asa. "kalau boleh, Asa pengen denger, sekaliiiiiii aja -ada orang yang bilang sayang sama Asa. Mumpung telinga Asa masih fungsi. Mumpung badan Asa masih respon. Asa pengen denger. Asa pengen tau sayang yang dimaksud dunia buat Asa itu kayak gimana."

Asa menangis dengan menyembunyikan wajahnya. Kepalanya tetap terjatuh bersandar pada pintu mobil. Napasnya terengah -dengan batuk intens. Namun semuanya tidak mampu menyembunyikan luka. Dari hari ke hari, waktunya menipis -namun ia masih belum memaknai untuk apa Tuhan menghadiahkannya hidup.

Bapak yang khawatir melepas seat belt-nya. Menarik Asa untuk duduk dengan benar seraya mengecek kondisinya.

"oh, astaga!" kaget Bapak saat mendapati ada darah yang dikulum dalam mulut Asa. Membuat Bapak menarik beberapa helai tissue dan meminta Asa memuntahkannya.

CHRYSANTHEMUM || NJMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang