05

2.2K 340 11
                                    

Dokter Hans sesungguhnya tidak menyetujui Asa untuk melepas infusnya lebih awal. Selain karena kondisinya yang belum sepenuhnya pulih, anak itu juga masih nampak pucat, terbatuk dengan sering dan mengi. Tapi Asa terlalu keras kepala untuk ditolak permintaannya.

"pakai jaket sama maskernya." Perintah Ibu pada Asa dengan nada ketus. "jangan sok ngide bantu ini itu -cukup duduk setor muka. Kalau kamu yang sakit, yang susah Ibu sama Bapak. Bukan teman-temanmu."

"iya, Bu..." jawab Asa dengan tak enak hati. Padahal ia hanya khawatir pada Nino; namun kalimat Ibu membuatnya sedikit merasa sakit karena merasa egois.

"Ibu..." suara rendah Bapak menegur Ibu. Tatapannya agak tajam untuk meminta Ibu berhenti menekan Asa. Kekhawatiran perempuan itu terlalu kasar terdengar telinga.

Asa menaiki Ertiga milik Bapak. Duduk di samping kemudi usai mengetikkan alamat rumah Nino pada GPS milik Bapak. Alamat yang diberikan Revan padanya saat ia menelepon tadi.

"Ibu cuma khawatir sama Adek..." ujar Bapak seraya memutar kemudinya keluar dari gang menuju jalan utama. Bapak agaknya khawatir melihat wajah Asa yang sendu menatap ke luar jendela. "jangan terlalu ambil hati."

Asa mengangguk seraya terbatuk kecil. Ada sedih yang bercokol dalam dada dan itu menumbuhkan perasaan tak nyaman. Namun remaja itu terpaksa mengulas senyum di balik maskernya demi menenangkan perasaan Bapak. "Asa nggak papa, Pak... Asa ngerti kok kau love language Ibu agak beda."

Dan sunyi menemani perjalanan mereka. Hanya sesekali batuk Asa yang terdengar tertahan -yang cukup membuat Bapak khawatir.

Setengah jam waktu tempuh ke rumah Nino. Kawasan perumahan padat dengan banyak anak-anak bermain disetiap gang-nya. Mobil Bapak diparkir tidak jauh dari kaleng drum besar yang dipasangi bendera kuning. Pelayat berjejer memenuhi bangunan dua lantai itu. Asa bisa melihat beberapa temannya juga guru sekolahnya turut hadir disana.

"beneran kesini?" tanya Revan dengan kaget. Wajah Asa terlihat kuyu meski di tutupi masker. "kalau sakit istirahat dirumah aja, njir. Ngapa maksain, sih?"

Omel Revan. Meski selanjutnya, remaja lelaki itu membungkuk canggung pada Bapak yang berdiri di belakang Asa.

"gue nggak papa..." elak Asa.

"temannya Asa?" tanya Bapak pada Revan usai melihat gelagat Asa yang nampak tak ingin memperkenalkan mereka.

Revan mengangguk, seraya menyalami Bapak. "iya Om. Saya teman sekelasnya Asa. Nama saya Revan."

"Om Erwin." Balas Bapak seraya menjabat tangan Revan.
Bapak kemudian menatap kearah Asa, "duduk dulu, Dek. Nanti kita ketemu temanmu nya kalau udah agak sepi. Masih penuh itu disana."

Asa menurut. Mengambil duduk di salah satu kursi plastik yang disediakan. Sesekali ia memijat pelipisnya pelan untuk menguasai pening yang terus mendera kepala. Mengundang tatapan khawatir Bapak dan Revan yang duduk di sisinya.

"Nyokapnya Nino belum di makamin?" tanya Asa. Berusaha mengalihkan perhatian Revan dan Bapak.

"belom.... Nino aja dijemput di sekolah, tadi pas istirahat pertama. Dikabarin nyokapnya pingsan terus dibawa ke ICU Siloam. Abis itu gak lama, kita dapet kabar nyokapnya Nino nggak ada."

"dia pasti kaget banget."

"pasti sih..." ujar Revan. Sebagai teman dekat Nino, sedikit banyak ia tau bagaimana keadaan keluarga sahabatnya itu. "Cuma, setau gue nyokapnya udah lama sakit. Breast cancer. Terus, Nino juga gak begitu deket sama nyokapnya..."

Asa menatap Revan. "bukan berarti Nino sudah siap-siap untuk kehilangan, kan?"

"ya.... Gimana ya... it may sound too harsh, tapi kalau udah sakit terus masuk fase critical gitu, mau ngarepin apa lagi? Terus nih ya... Nino tuh anak tunggal." Cerita Revan, "Dan nyokapnya punya harapan setinggi puncak Everest buat Nino. Jadi semenjak nyokapnya sakit, dia maksain diri buat belajar demi memenuhi ekspektasi nyokapnya. Padahal Nino agak goblok di matematika. Masalah-masalah itu sering bikin Nino sama nyokapnya nggak akur." Revan tersenyum sumir di akhir kalimatnya.

CHRYSANTHEMUM || NJMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang