04

2.3K 334 11
                                    

Asa merengangkan ototnya. Tubuhnya lelah meski perasaannya diliputi kebahagiaan.


Sesi belajar yang tadinya hanya bersama Gisela dan Yuki bertambah dengan Hamdan, Revan dan Rama. Nino juga ikut sih -tapi terpaksa karena ia berniat nebeng Revan pulang. Jadi ia mengikuti kegiatan itu dengan separuh hati. Tapi Asa sungguh baru tahu, bahwa Nino cukup pandai di mata pelajaran Bahasa Indonesia. Mereka bahkan sempat berdiskusi -nyaris berdebat- saat membahas beberapa soal. Mungkin benar, bahwa Nino hanya lemah pada mata pelajaran yang melibatkan angka. Buktinya, pengetahuan umum dan kebahasaannya cukup baik.



Sayangnya, semangat Asa tidak sejalan dengan kekuatan tubuhnya. Demamnya kembali melonjak saat istirahat kedua tadi. Asa merasa lemas -bahkan sempat mimisan sedikit. Namun janji membantu Gisela membuatnya bertahan mengajari teman-temannya hingga satu jam lebih. Membuatnya pulang lebih sore. Sepanjang perjalanan pulang, Asa menahan diri untuk tidak memuntahkan asam lambungnya dan berusaha mengatur napasnya baik-baik. Namun bulir keringat Asa yang sebesar biji jagung jelas tak luput dari pandangan Pak Amam.



"Mas Asa gapapa?"



Asa menggeleng lemah. "gapapa, Pak."



"kita ke rumah sakit saja, ya?" tawar Pak Amam seraya memutar roda kemudi. "saya takut dimarahi Ibu kalau Mas Asa sakit lalu tidak langsung mendapat penanganan."



"gapapa, Pak... Cuma agak capek. Pengen rebahan." Tolak Asa seraya memejamkan mata.



Mendapat penolakan Asa, yang dilakukan Pak Amam hanya menurut. Tidak berani berkomentar lagi karena khawatir membuat Asa tak nyaman.



Setengah jam lebih waktu habis dijalanan. Macet di beberapa area pengerjaan jalan membuat mobil yang dikemudikan Pak Amam bergerak lebih lambat dari biasanya. Asa yang sudah pias tak kunjung membuka mata saat mobil sudah memasuki pelataran parkir. Beruntung, rumah tidak dalam keadaan sepi. Ada Bapak yang siang ini sudah ada dirumah. Membopong Asa ke dalam kamar yang sepertinya tidak sadarkan diri -entah sejak kapan.



"maaf, Pak..." ujar Pak Amam tak enak hati. Kondisi Asa ternyata demam tinggi -dan bodohnya, Pak Amam malah membiarkan penolakan Asa untuk dibawa ke rumah sakit.



Bapak menggeleng mafhum, "gapapa, Pak. Bisa tolong bantu panggil dokter Hans kemari?" pinta Bapak untuk memanggil dokter kenalannya yang buka praktek tidak jauh dari rumah. "Adek demamnya tinggi. Dari tadi gelisah terus tidurnya."



Pak Amam mengangguk menyanggupi.



"kalau dokter Hans-nya lagi praktek di Rumah Sakit, minta tolong perawat di kliniknya saja minta bantu kemari, ya Pak Amam."



"Baik, Pak." Balas Pak Amam usai memahami instruksi.



Lepas Pak Amam pergi, Bapak sibuk melepas sepatu pula kaos kaki yang dikenakan Asa. Baju seragamnya pun diganti dengan pakaian rumah yang lebih nyaman. Beliau menghapus bulir keringat yang membasahi dahi serta leher Asa.



'kamu pulang hari ini?' ingatan Bapak terlempar pada telepon dari istrinya tadi pagi.

'belum tau. kenapa?'


'kemarin saya dapat panggilan dari sekolah. Asa berkelahi.'

'kok bisa?'


'sepertinya dibully...' jawab Ibu dengan nada ragu. 'saya nggak ngerti. Yang jelas semalaman dia demam. Tapi hari ini tetap berangkat sekolah.'

'kenapa nggak larang dia berangkat?' tanya Bapak -yang dibalas jeda panjang selama enam puluh detik penuh. 'hm... yasudah... saya pulang agak siangan. Perlu urus masalah di toko dulu. Toko baru... belum leluasa untuk ditinggal tanpa pengawasan saya.' Bapak berdehem singkat, 'tapi Asa gapapa kan?'

CHRYSANTHEMUM || NJMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang