05

2.4K 344 9
                                    

Awalnya, gue pikir gue kena Tubercolosis Paru. Soalnya, hasil googling dari gejala yang gue alami, hampir mirip kayak gejala Tubercolosis. Gue bahkan sempat berpikir untuk pakai masker dan memisahkan peralatan pribadi gue dengan peralatan milik orang rumah. Khawatir orang rumah ketularan. Tapi ternyata bukan.



Gue mengulang pemeriksaan foto rontgen sembari rawat inap dan terapi obat-obatan untuk mengurangi batuk dan sesak napas yang dari hari ke hari semakin membuat gue kepayahan. Dan setelah tiga hari, gue diperlihatkan hasil foto rontgen gue.

Normalnya, hasil foto toraks itu akan menggambarkan bentuk rusuk gue

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Normalnya, hasil foto toraks itu akan menggambarkan bentuk rusuk gue. Membentuk tulang-tulang rusuk layaknya gambar negative pada roll film. Namun pada hasil rontgen gue, area kanan paru sudah dipenuhi selubung putih keabu-abuan. Ada gurat retak yang sudah terlihat pudar pada rusuk nomor tiga dan empat -menandakan bahwa tulang rusuk gue memang sempat cedera sebelumnya.



"TBC ya, Dok?" gue nyeletuk sok tau. No clues about what just happened to me.



Dokter Pandu tersenyum kecil dan mengarahkan pandangannya pada Bapak dan Ibu. "di rujuk ke ahli onkologi ya, Pak... Bu..." katanya dengan sungkan. "ini... sepertinya lung cancer."



Bapak gue diem. Ibu kelihatan marah. Dan gue yang bengong.



"Asa masih SMP... memang bisa kena kanker paru juga?" Tanya Bapak dengan agak gemetar.



Namun dokter Pandu hanya diam. Sepertinya dia juga bingung untuk menanggapi pertanyaan Bapak.



"kira-kira, stadium berapa Dok?" Tanya Ibu. Sepertinya Ibu lebih mudah menerima kenyataan dibanding Bapak yang masih nampak mengawang karena tidak menyangka.



"saya kurang paham Bu. Ini diluar ranah saya, soalnya. Tapi kalau melihat bahwa paru-parunya Adek ini sudah hampir seluruhnya diselubungi warna putih ke abu-abuan, juga melihat gejala yang selama ini dialami Adek Asa, kemungkinan di stadium III B, atau stadium IV."



"harus di operasi kah, Dok?" kali ini, Bapak yang nanya. Dan pertanyaan itu bikin gue serem sendiri. Menyadari bahwa apa yang terjadi sama tubuh gue cukup parah sampe berkemungkinan harus operasi.



"kita konsultasikan sama ahli onkologi, ya..." dokter Pandu berujar dengan seramah dan sehati-hati mungkin, "nanti Dek Asa-nya harus melewati beberapa pemeriksaan lagi biar diagnosanya tepat dan penanganannya juga tepat."



Berkas kesehatan gue dilimpahkan pada spesialis onkologi -di rumah sakit yang sama. Dokter Pandu mengarahkan Bapak dan Ibu pada ahli onkologi kenalannya -dan gue langsung dischedule-kan untuk melakukan serangkaian test untuk mendeteksi sudah sejauh mana sel kanker itu berkembang di paru-paru gue.



Iya. Lung cancer -atau kanker paru-paru.

Gue mau ketawa. Tapi mata gue nangis. Agak sesek tiba-tiba.

Gue pikir kue kuat. Tapi nyatanya enggak.

Kebayang enggak sih? Gue masih lima belas tahun; dengan vonis Lung Cancer - ANJING!

Duh... srimulat banget dunia gue.



Gue masih sibuk mencerna keadaan ini. Ini terlalu mendadak -dan otak gue sungguh blank.



"jangan ngelamun, kamu!" kata Ibu yang saat ini nungguin gue di sisi bed. "masih pagi."



"maaf." Jawab gue seadanya. Gue memperhatikan jam dinding di kamar rawat sebelum pandangan gue berfokus pada Ibu, "Ibu nggak berangkat kerja?"



Ibu menggeleng, "izin."



"Asa gapapa kok ditinggal. Kasian nanti kerjaan Ibu numpuk, terus Ibu mesti lembur lagi." Sungguh, gue beneran gapapa kalau ibu lebih milih kerja dibanding nungguin gue. Gue khawatir beban kerja Ibu bertambah gara-gara sering izin. Soalnya dari awal gue di rawat di puskesmas itu, Ibu juga sempet ngambil izin buat jagain gue.



"nggak usah ngatur-ngatur." Kata Ibu.



Gue menghela napas panjang. Sedikit menyayangkan bahwa Ibu selalu salah paham sama niat baik gue. Alat bantu oksigen yang masih gue gunakan nyatanya tidak membantu banyak dalam meredakan sesak. Mungkin karena rasa sesak di dada gue sekarang tidak sepenuhnya murni dari sakit fisik -melainkan sakit hati.



"maaf, Bu."



Ibu nggak respon apa-apa. Lebih fokus sama ponsel di tangannya -yang nggak lama kemudian, ponsel itu berdering.



"Waalaikum Salam, Rey."



Suara lembut Ibu yang menyapa orang diseberang membuat gue sadar bahwa sepertinya Bang Reyhan lah yang sedang menelepon Ibu.



"Iya. Masih dirawat." Ibu diam sejenak sebelum melanjutkan, "dugaan dokternya sih kanker paru-paru."



"hm... ini udah di schedule buat pemeriksaan lanjutan... Cuma ada beberapa yang gak di cover asuransi." Ibu memijat pangkal hidungnya.



Gue nggak tau, berapa banyak biaya yang nggak di cover sama asuransi swasta. Tapi gue yakin cukup besar karena biasanya, pengobatan untuk kanker memakan biaya yang tidak sedikit. Maaf ya, Asa nyusahin banget.



"kamu minggu ini pulang, kan? Bantu urus BPJS Asa ya, Rey..."



"belom... Ibu belom kasih Irina kabar soal ini. Bingung juga bilangnya gimana. Kalau kamu mau ngabari Irina... coba sekalian tanya soal hospital yang sekiranya cukup baik buat pengobatan kanker di sana."



"iya... nanti di omongin sama Bapak."



"hm.. kamu hati-hati ya, Rey."



"iya... wa alaikum salam."



Gue melihat Ibu menghela napas berat saat memutuskan sambungan telepon. "Ibu... Asa nyusahin ya?" Tanya gue.



Ibu nggak merespon. Beliau diem sambil ngeliatin gue intens. Raut mukanya datar membuat gue merasa semakin bersalah.



"Maaf ya, Asa bikin Ibu sama Bapak repot."



"makanya jangan sakit."



Gue nyengir meski hati gue sakit banget. Siapa yang mau sakit sih, Bu?



----



"Adek kenapa?" Tanya Bapak.



Di kamar rawat ini, cuma Bapak yang lagi nungguin gue. Ibu pulang -mau istirahat dirumah, katanya. Sesungguhnya, gue sangat tidak keberatan jikapun Bapak memilih untuk istirahat dirumah. Mereka berdua sudah cukup tua. Berjaga di rumah sakit, tentu pekerjaan yang cukup melelahkan.



"Asa di rawat di rumah sakit, sampai kapan ya, Pak?"



"sampai sehat, dong."



"nanti bisa sehat lagi emang, Pak?"



Bapak mengangguk. "pasti bisa."



Gue ketawa kecil, "jangan nangis dong Bapaknya." Ledek gue saat melihat ada setitik air mata yang jatuh di pipi Bapak. "Asa jadi nggak percaya sama Bapak -soalnya Bapak kelihatan nggak percaya sama apa yang Bapak bilang ke Asa."



Bapak diam aja. Malah mengelus dada gue pelan saat gue terbatuk lagi tanpa henti.



"kalau pemeriksaannya udah beres; hasilnya udah keluar, Asa mau pulang aja ya, Pak..."



"kenapa?"



"biar Ibu nggak sering izin. Biar Bapak kerjanya juga fokus... kasian toko baru udah sering ditinggal-tinggal."



Gue nggak bisa mengartikan keterdiaman Bapak. Apakah Bapak sedang mempertimbangkan ucapan gue, atau justru kecewa sama gue.



"Pak... Bapak sayang Asa, kan?"



Bapak diam. Masih tidak menjawab tanya gue -dan seketika itu membuat gue merasa patah.



CHRYSANTHEMUM || NJMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang