06

2.6K 349 11
                                    

Hasil pemeriksaan gue keluar.

Positive. Fix. Small Carcinoma Lung Cancer/ SCLC ¬- stadium IV ; dengan posisi sel kanker yang sudah metastis mencemari kelenjar getah bening dan jantung. Cuma tinggal nunggu waktu hingga sel kanker itu bergerak menyerang otak atau organ lainnya dan mengalahkan gue dengan mudah. Dokter Yulius Jauhari -selaku ahli onkologi yang dipercaya Bapak dan Ibu untuk menangani gue tidak menyarankan gue untuk di operasi. Karena memang agak sulit untuk melakukan operasi ketika sel kanker itu bahkan sudah menyebar jauh dari tempat semula dia tumbuh. Opsi yang beliau tawarkan untuk pengobatan gue adalah terapi target dan kemoterapi.

Tidak ada harapan.

"pulang." Pinta gue pada Bapak dengan suara yang dibuat setegar dan sekuat mungkin.

Dunia gue bener-bener berasa jungkir balik. Bohong kalau sekarang gue bilang gue nggak sakit hati atau nggak pengen marah-marah. Nyatanya, gue hanya sedang menahan diri untuk nggak ngamuk dan nyalahin siapapun.

Ibu mendelik mendengar permintaan gue. Apakah kata-kata gue barusan terdengar tidak masuk akal untuk beliau?

"Adek belum sehat." Ujar Bapak masih mencoba kalem, "kita pulang kalau kondisi Adek udah lebih baik, ya... biar nggak usah pakai alat bantu nafas begini."

"pulang, Pak. Asa mau pulang."

"Dek... jangan kayak begini, ya." Bapak meminta. Nada suaranya bikin dada gue seakan terhimpit. "Adek sedih, boleh... Bapak ngerti. Tapi jangan begini, ya?"

"mau pulang!"

"jangan konyol, kamu!" sentak Ibu. Raut wajahnya kelihatan marah. Mungkin kesel karena gue merengek sedari tadi. "susah payah kami mengusahakan pengobatan kamu, dan kamu mau pulang?"

Tapi gue gak bisa mengendalikan emosi. Gue nggak bisa mengendalikan rasa kecewa gue pada dunia. Jadi, dengan sisa tenaga yang gue punya, gue melepas alat bantu oksigen yang selama gue dirawat ini gue pakai. Membuka lemari di samping bed untuk mengambil baju ganti.

"jangan gini Dek..." Bapak memohon dengan air mata yang merembes ke pipi. Beliau memeluk gue erat.

Jujur, gue nggak tega. Tapi gue nggak berpikir untuk berhenti dan menurut pada Bapak. Gue tetap mencoba memberontak dari pelukan Bapak.

"Lepas! Asa mau pulang!"

"Adek belum sehat. Nanti, ya!"

"Asa nggak akan sehat, Pa! Asa nggak bakalan bisa sehat lagi!" teriak gue dengan sepenuh emosi. "buat apa ngabisin waktu di rumah sakit kayak gini?"

"kita kan lagi ikhtiar. Lagi berusaha buat kesembuhan Adek."

"kenapa?"

Bapak mengernyitkan alis tidak mengerti.

"kenapa Asa perlu berobat?"

"maksud Adek apa?"

"harusnya Bapak sama Ibu senang, Asa minta pulang. Kalian nggak akan dibebankan dengan biaya rumah sakit. Asa bisa meninggal dengan mudah tanpa harus sibuk berobat ini itu." Gue berkata dengan setengah teriak. Meluapkan sisa-sisa emosi yang masih gue miliki.

"kenapa Adek bilang gitu?"

"karena Bapak sama Ibu nggak pernah mau ada Asa di dunia ini, kan? Asa hanya anak angkat. Anak haram. Anak hasil perkosaan. Asa udah lama dianggap meninggal. Jadi, kehilangan Asa bukan hal sulit buat Ibu dan Bapak. Iya kan?"

CHRYSANTHEMUM || NJMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang