01

2.7K 344 12
                                    

Setelah seminggu dirawat, dan menjalani berbagai pemeriksaan lanjutan, Asa bersikeras memaksa pulang. Dokter mengizinkan, meski dengan beberapa catatan. Kondisi Asa belum sepenuhnya pulih. Masih sangat rentan, terlebih dengan status barunya sebagai pasien kanker paru.



Ibu membantu membereskan beberapa barang yang kemarin digunakan selama menginap di rumah sakit. Ada beberapa rantang plastik juga termos air yang di bereskannya dari bagasi mobil. Reyhan mendapat tugas mengangkut selimut, baju-baju serta alas tidur yang di pack ke dalam beberapa tas. Irina membawa peralatan oksigen portable lengkap -sesuai saran yang dianjurkan dokter sebelum pulang, tadi. Jaga-jaga untuk pertolongan pertama jikalau di butuhkan. Sedangkan Bapak memapah Asa dengan perlahan. Anak lima belas tahun yang sudah banyak kehilangan berat badannya itu menolak di gendong di punggung. Memaksakan diri melangkahkan kaki meski dengan tenaga seadanya.



Sejujurnya, Ibu sudah bersiap mengomel sedari tadi tentang betapa keras kepalanya Asa, namun elusan lembut dari Reyhan di lengan sang Ibu membuat perempuan paruh baya itu mengurungkan niat.



"jangan di marahi terus Asa-nya, Bu..." ujar Reyhan dengan sangat lembut. Lelaki itu paham, bahwa ibunya cenderung lebih emosional jika di bentak atau diperingati dengan tone yang naik setengah oktaf.



Ditegur begitu, si Ibu melengos. Menyela untuk mengambil jalan duluan masuk ke dalam rumah.



Reyhan agak menggeleng kecil dengan kelakuan Ibu yang belum juga berubah. Namun mulutnya tak berkomentar banyak. Bagaimanapun, menghapus kenangan buruk itu perlu waktu, kan?


-----


Bapak merebahkan Asa di kasurnya dengan perlahan. Membiarkan remaja tanggung itu berbaring nyaman dengan dua tumpuk bantal yang menyangga kepala. Hanya berjalan dari halaman rumah hingga ke kamar saja rasanya kepayahan. Padahal vonis kanker itu baru di terimanya beberapa hari lalu. Kenapa tubuhnya terasa serenta ini?



"mikirin apa, Dek?" tanya Bapak seraya mengusap peluh di dahi Asa. Mengamati wajah lelah itu lekat-lekat.



Asa menggeleng. Memendam perasaannya seperti biasa.



"ada yang kerasa sakit, hum?"



"nggak, Pak." Jawab Asa dengan agak terengah. "makasih udah bantu papah Asa sampai kamar, ya."



Bapak mengangguk kecil, "sesak ya Dek? Capek jalan dari depan ke sini?"



"lumayan..." tawa Asa tersungging kecil, "kayak orang jompo ya?"



"enggak kok." Tutur Bapak seraya menggeleng. "Adek suka nggak? Sekarang sudah pulang ke rumah seperti yang Adek mau, kan?"



Asa mengangguk. Ada air mata merembes di pipinya. "makasih ya Pak, udah nurutin maunya Asa..." bibir pucat itu tersenyum, "rasanya lebih nyaman dirumah dibandingkan di rumah sakit." Jujur Asa.



"syukurlah..." ucap Bapak seraya mengusap puncak kepala Asa.



Irina masuk ke kamar Asa untuk meletakkan termos air yang sudah diisi air hangat oleh Ibu. Si sulung itu juga membereskan oksigen portable yang sebelumnya ia taruh asal di kamar Asa. Ia tersenyum menyaksikan interaksi hangat antara Bapak dan Asa.



"happy ya, pulang ke rumah?" tanya Irina.



Asa mengangguk dan terbatuk kecil. "Asa is the happiest man on earth."



"you boy lah! Not a man." Logat melayu dan bahasa inggris Irina terdengar lucu.



"kelamaan main sama upin-ipin, bahasa Kak Irina jadi aneh, ya Pak?" kekeh Asa.

CHRYSANTHEMUM || NJMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang