01

5.5K 106 12
                                    

Cerita ini akan loncat loncat setiap part-nya...

Jadi, kalau membaca harus jeli karena tidak berurutan dalam tiap part-nya...

Semoga dimengerti!

Selamat membaca...

##########
Part 1
*******
Sudah cukup lama kejadian yang menimpa ibuku, hingga menjadikanku piatu. Entah siapa pelakunya? Sedangkan ayahku seakan malah senang ibu tiada. Dan ku dengar dengar rencananya mau menikah lagi. Kesedihan semakin bertambah, tapi aku tak dapat berbuat banyak terlebih untuk mencegah ayahku menikah lagi.

Sudah seratus hari ibuku meninggal, dan ibuku tewas, dan nyawanya tak terselamatkan.

Entah siapa yang menabraknya, tega membuat ibuku terluka parah dan akhirnya meninggal dunia karena kehabisan darah saat dilarikan kerumah bidan, karena tempatku jauh dengan yang namanya dokter, yang ada hanyalah bidan.

Air mataku masih saja luruh jika mengingat hal itu. "Ibu,,,," isakku diantara derai air mataku yang terus bergulir. Siapa yang tega menabrakmu, tidak bertanggung jawab. Ayahku tidak peduli dengan kematian ibu, dan tidak melaporkan ke pihak yang berwajib, karena letaknya jauh, ayahku juga tak mau berurusan dengan polisi, katanya ribet dan tambah masalah, banyak uang yang harus dikeluarkan. Bukankah polisi penganyom masyarakat terutama rakyat jelata seperti keluargaku, tapi apalah artinya rakyat seperti kami, yang tak punya uang lebih, hidup juga pas pasan, lalu kami akan bayarnya pakai apa? Daun! memang mau? ada ada saja.

"Yul,,, ibu pe, pesan sama kamu nak. Jangan nakal, jaga dir, dirimu baik baik,,, hah, ibu sudah tak bisa menjagamu lagi nak. Semoga Allah senantiasa melidungimu dari marabahaya,,, hah,,,!" ucap ibuku tersengal.

"Tidak! ibu harus kuat. Ibu harus menemani sampai aku dewasa!" isakku tak kuat, juga sedih.

"He hee,,, kamu sudah gede! kamu hampir lulus SMA anakku" ibuku mencoba tersenyum dan menghiburku. Aku rasakan  kesedihanku makin mendalam. Aku tak kuat menahan sesaknya dadaku.

"Jan, jangan sedih anakku, ibu selalu bersamamu, selalu melindungimu sampai kapanpun, percayalah!" ibu hanya menghiburku, nafasnya kian tersengal, sepertinya waktunya tak lama lagi.

"Ibu,, ibu. Sudah,,,, ! ibu harus kuat, ibu pasti sembuh karena bidan akan memberikan  obat, dan ibu pasti sehat!" jelasku.  ibuku menyetuh pipiku, air matanya ikut bergulir. Aku tak tega dibuatnya, hatiku terlalu rapuh.

"Aku tak bisa hidup tanpa ibu!"

"Masih ada ayahmu anakku! pasti ayahmu akan sangat sayang padamu!"

"Tidak ibu. Hanya ibu satu satu didunia ini orang yang menyanyangimu dengan tulus!"

"Tidak anakku, ayahmu juga sangat menyayangimu!" kembali ibuku mencoba untuk tersenyum. Terlihat makin lemah, karena sedari tadi ku ajak bicara. Lemah. Dan kembali ibuku tersenyum padaku, tangan tuanya masih dipipiku. Terkadang mengusap air mataku yang bergulir.

"Tapi ibu lihat sendirikan. Ayah tak ada disini, pasti sedang asik dengan gendak-annya"

"Hus, jangan ngawur kamu nak. Dia itu ayah, yang perlu kamu hormati" tegasnya, ibuku nampak marah dengan apa yang baru saja ku ungkit.

"Tapi kenyataannya seperti itu. Ibu menderita lahir batin juga karena ayah. Mungkin ayah akan senang dengan keadaan ibu yang seperti ini!"

"Jaga mulutmu. Jangan kur, kurang ajar kamu  sama ayahmu Yul!" bentak ibuku. Membuatku tak percaya kalau ibuku masih membela ayahku, padahal jelas jelas sekarang saja tak ada, melihat ibu yang sedang tak berdaya terbaring dirumah sakit milik seorang bidan didesaku.

CINCIN KEHIDUPAN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang