2. Penguapan

86 16 125
                                    

.

.

Meskipun gas air tak tampak tapi awan tetesan air juga sebagai bukti, kan? 

.

.

.

Vale memasukkan barang-barangnya ke koper lalu ada perasaan campur aduk saat melihat pakaian Hanan--yang sudah ada di dalam koper sebelumnya—yang dia bawa dari rumah. Tatapannya berkaca-kaca  saat mengingat bahwa pemilik pakaian ini sudah tak akan pernah memakainya lagi. Namun, cepat-cepat Vale menggeleng dan mengusap matanya.  Ia tak boleh larut dalam kesedihan.

"Lo udah siap, Dek?"

Dan untuk pertama kalinya juga, Vale mengatakan sebutan itu kepada Aditya. Namun, orang yang dimaksud hanya termenung di sofa.

Vale mendekat, menyenderkan kepala Aditya ke pundaknya kemudian menarik poni cowok itu ke belakang. "Gue mau di sini aja, Kak. Nemenin papa."

Dengan sekuat tenaga Vale menampilkan senyuman terbaiknya. "Jenazah papa di sini udah ada yang ngurus, Dek. Kita harus sampai lebih dulu ke Jakarta kalau mau lihat proses pemakaman papa, kan?"

Entah, kejadian di pantai membuat Vale seperti memiliki sikap kakak pada umumnya. Vale terlihat lebih bijak, ia tak ingin memperlihatkan sisi lemah bahwa dirinya juga sedang tidak baik-baik saja di hadapan adiknya. Berbanding terbalik dengan Aditya yang dengan mudah mengeluarkan emosi.

Setelah berusaha membujuk, akhirnya Aditya pun bersedia pulang. Dengan segera mereka pergi ke bandara dengan tiket pesawat yang sudah Freeya pesankan dari Jakarta.

Sesampainya di Jakarta, Rio sudah menjemput di bandara. Suasana di mobil sangat canggung, Aditya hanya diam melihat ke arah jendela mobil dengan pandangan yang kosong sedangkan Vale juga begitu.

Kelihatannya kakak-beradik itu tampak berduka padahal sebelumnya sempat merasakan kebahagiaan saat mendapat kabar bahwa Wulan melahirkan anak yang cantik, persis seperti keinginan Vale dulu bahwa ingin mempunyai adik perempuan.

Di rumah ternyata sudah banyak ucapan bela sungkawa karangan bunga berjejer menghiasi halaman. Entah, padahal Vale sendiri juga tidak mengabari siapa pun jika Hanan tidak terselamatkan pada kecelakaan itu. Namun, orang rumah tampaknya sudah mengetahui lebih dulu—melihat dekorasi dan banyaknya orang berdatangan--hingga beberapa jam kemudian jenazah Hanan pun datang.

Setelah proses pemakaman selesai, Jovanka, Veronica, Freeya dan Rio masih menemani Vale, dan kedua adiknya bersama supir mereka di samping kuburan Hanan.

Aditya tampak sesenggukkan, berbeda dengan Kenzi—adik Vale yang masih TK—itu tampak memainkan bunga dan tanah liat dengan tampang polosnya sedangkan Wulan masih belum pulang dari rumah sakit sehingga tidak bisa mendatangi proses pemakaman suaminya.

Di hadapan teman-teman beserta pacar, Vale tidak mau terlihat lemah dan menangis sehingga sekuat tenaga Vale ingin pergi dari tempat ini. Ia bangkit. "Ayo pulang, Dit."

Dengan napas yang masih sesenggukkan Aditya menggeleng sambil melepaskan tangan Vale yang sedang menarik lengannya. "Gue bisa pulang sendiri," ucapnya dengan nada ketus. "Kakak kalau mau pergi, pergi aja. Nanti Kenzi biar sama gue pulang sama Pak Joko."

Pak Joko adalah supir pribadi mereka.

Mata Vale membulat. Dengan segera Rio juga bangkit. "Kalo gitu. Ayo, Guys. Kita cabut. Hari ini kan jadwal Vale buat party. Karaokean enak kayaknya, nih! Biar gue yang traktir, deh sambil ngabarin yang lain!"

Titik Lebur (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang