Vale langsung merebahkan tubuhnya di kasur. Hari ini sungguh melelahkan baginya. Setelah mandi, ia meraih ponsel yang tergeletak asal di kasur dan melihat jam menunjukkan pukul 02:43 WIB. Entah, dalam kondisi seperti ini tiba-tiba saja otaknya terpikirkan oleh seseorang. Biasanya jika terbangun tengah malam Vale akan menghubungi Rio, cowok itu selalu menemaninya sampai ia tertidur kembali. Vale paling benci sendiri, ia tidak suka kesunyian.
Kemudian Vale menghapus ketikan nama tersebut di pencarian panggilan telepon saat baru menyadari bahwa hubungannya dengan Rio telah kandas. Dengan segera Vale menjatuhkan tangannya ke kasur lalu terpejam. Merasakan denyutan yang semakin sesak bila diingat.
Pikiran Vale kemudian beralih dengan Freeya. Biasanya juga cewek itu yang selalu ada, selalu siap siaga jika Vale membutuhkannya. Namun, sekali lagi Vale harus mendesah frustrasi saat kedekatannya dengan Freeya tidak seperti dulu lagi. Aneh, mengapa dunia seakan mentakdirkan demikian saat dulu Vale paling benci sendiri. Namun, sekarang ia harus terpaksa merasakannya.
Hingga tatapannya bertemu pada sebuah bingkai foto keluarga berukuran A4 yang dipajang pada meja dekat kamar tidurnya. Sebuah keluarga lengkap dengan senyuman--yang tampak terpaksa. Jika dipikir-pikir lagi, mengapa dulu Vale sebegitu bencinya, ya, dengan keluarganya sendiri? Dari anggota keluarga yang lain, Vale satu-satunya orang yang tidak pernah mau jika diajak keluar bersama--hanya untuk sekadar liburan keluarga--kini ia menyesali perbuatannya tersebut.
Hal yang paling Vale benci dengan kesendirian adalah ia gampang menangisi sesuatu yang sudah hilang dalam hidupnya.
Melihat foto papanya yang sudah pergi selama-lamanya, membuat bibir Vale tertarik ke atas. Memungkinkan sesuatu yang seandainya hal ini tidak terjadi, mungkin hidupnya masih baik-baik saja.
Kini dalam hidup Vale banyak kata pengandaian. Andai jika papanya tidak meninggal, pasti Vale tidak akan tinggal di kontrakan ini. Andai dulu Vale lebih mengalah pada egonya pasti Vale bisa lebih dekat dengan papanya. Namun itu hanya sekadar pengandaian yang bagaimana pun tidak akan pernah mengubah kenyataan. Bahwa memang benar yang biasanya dikatakan oleh orang adalah bila sesuatu akan tampak berharga jika harus merasakan kehilangan. Dan kini Vale telah merasakan begitu sakitnya saat rasa penyesalan itu datang.
Pikiran Vale beralih pada mamanya. Ia lupa bahwa Vale belum sepenuhnya sendiri. Dengan segera ia mengambil kembali ponsel dan mengetikkan nama, 'Mama' pada pencarian telepon.
"Pasti di sana masih siang," gumam Vale saat mengingat bahwa perbedaan zona waktu di tempat Wulan bekerja.
"Hallo, Mama. Apa kabar?" Tanpa basa-basi lagi Vale langsung berkata saat panggilan itu terhubung.
"Iya, Ve. Kabar Mama baik. Kamu baik-baik aja, kan? Tumben kamu telepon."
Vale tertegun dengan kepekaan yang Wulan rasakan. Hatinya terenyuh tatkala mendengar suara yang lembut dari ujung sana. Tampak ada getir yang disembunyikan tetapi menampilkan nada yang seakan baik-baik saja.
"Mama, udah makan?"
Akhirnya hanya kata itu yang bisa Vale lontarkan.
Sunyi, tidak ada suara atau balasan dari seberang hingga beberapa menit kemudian Wulan menjawab, "Di sana pasti sudah malam. Apa yang membuatmu masih terjaga di jam seperti ini, Ve? Cerita sama Mama."
Mendengar hal itu Vale memejamkan mata, menggigit bibir bagian bawah. Mencoba merasakan betapa berantakannya hidup Vale sekarang. Diputuskan pacar saat masih sayang-sayangnya, dijauhi teman terdekat dan yang lebih parahnya lagi ia sampai dibenci dan menjadi korban perundungan di sekolah saat mereka termakan berita hoax. Sungguh, hari yang sulit bagi Vale setelah keluarganya terkena musibah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Lebur (End)
Novela Juvenil[Update setiap hari Senin dan Kamis.] Seperti air yang membeku pada suhu 0' c dan mendidih pada suhu 100'c di tekanan 1 atmosfer. Begitu juga kehidupan karena semua unsur memiliki properti agar bisa berubah! Jeovanna Valeria adalah remaja dengan s...