6. Tekanan Atmosfer

79 12 155
                                    

Suatu tekanan yang menggerakkan udara bagaikan jatuh pada lubang yang sama.

.

.

.

Sepulang sekolah Vale langsung mengganti pakaian lalu ikut Wulan untuk melihat rumah baru dari hasil uang asuransi kecelakaan pesawat tersebut.

Tentu, beberapa hari yang lalu mereka habis bertengkar saat Wulan mengatakan bahwa sudah membeli rumah tanpa konfirmasi dan membuat keduanya tak bertegur sapa.

Sekarang Vale memutuskan untuk menurunkan gengsinya agar bisa ikut melihat rumah itu bersama Wulan. Bagaimanapun Vale tidak tega bila membiarkan mamanya pergi sendiri karena wanita paru baya itu terbiasa ditemani oleh supir.

"Kok berani banget sih langsung bayar total tanpa tau kondisi rumah yang sebenarnya, Ma. Nggak takut hasilnya zonk?" ucap Vale ketus saat mereka sedang berada di taxi dengan Aditya dan Kenzi yang ditugasi Wulan untuk menjaga Keira yang sedang tidur di kontrakan.

Perkataan Vale yang sarkas membuat ibu-anak itu sering bertengkar dan tidak cocok antara satu dengan yang lain.

"Ya, karena Mama takut nanti kalo nggak dilunasi duluan rumah itu bisa keduluan sama yang lain soalnya tempatnya strategis banget. Kamu pasti bakalan suka banget, Ve. Mama juga kalo pegang uang banyak suka kalap. Makanya langsung Mama iyain aja deh soalnya Mama yang minta tolong buat cariin rumah itu ke temen Mama ... tenang aja, Ve. Dia amanah kok. Percaya deh sama Mama."

Mendengar hal itu Vale hanya mendengus kesal lalu menatap ke arah jendela.

"Mama ngerasa nggak enak aja kalo nolak, soalnya dia udah susah-susah nyariin rumahnya buat Mama."

Vale menatap lagi ke arah Wulan. "Yakin temen Mama nggak ada maksud lain? Apalagi kata Mama kemarin itu kalo nggak salah dia temen baru Mama di arisan, gimana Ve nggak ragu!"

Perkataan yang bernada sindiran tersebut membuat Wulan juga ikut menoleh.

"Kakak kok seakan nuduh temen Mama yang aneh-aneh. Meskipun itu temen baru Mama tapi semua orang juga tau kalo dia itu baik, Kak. Di arisan dia sering bantuin temen-temen Mama yang lain juga kok. Nggak mungkin lah kalo dia sampai nipu Mama. Mama yakin itu." Wulan menjeda kalimatnya.

"Iya dulu ada papa, Kak. Biasanya papa yang ngurusin ini semua, sekarang Mama bingung kalo mau minta tolong ke siapa jika bukan ke temen Mama," ucap Wulan saat pertengkaran dua hari yang lalu itu kini terjadi lagi.

Ada sedikit luka di hati Vale saat Wulan mengucapkan hal tersebut.

"Lah terus Vale dianggap apa, Ma, selama ini?" Kali ini nadanya naik beberapa oktaf. "Mama, bisa cerita ke Ve atau seenggaknya konfirmasi dulu kek biar nggak terkesan ambil keputusan sendiri. Soalnya bagaimanapun itu masih tetep uang papa. INGAT, itu bukan uang Mama jadi harus cari keputusan bersama. Jangan main hakim sendiri!"

Perkataan itu membuat supir taxi menoleh.

"Mohon maaf mengganggu waktunya. Sudah sampai, Bu."

Mendengar hal itu Vale langsung menoleh saat supir taxi menatap wajahnya.

"Bu, bu, bu dikira gue ibu lo apa, hah? Gue belum nikah, ya. Jangan sembarangan kalo ngomong!"

Kemudian Vale keluar dari taxi hingga terdengar suara pintu taxi yang ditutup cukup keras, sedangkan Wulan cepat-cepat membasuh buliran bening yang berada di ujung matanya. Entah, wanita itu selalu kalah jika berdebat dengan anaknya dan selalu berakhir dengan tangis.

Titik Lebur (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang