17. Zombie

22 2 0
                                    

Sengaja, setelah pulang dari ruang BK Vale tak langsung kembali ke kelas. Ia malas bertemu dengan teman-temannya yang secara terang-terangan telah mem-bully-nya di lapangan.

Di sinilah Vale sekarang. Di balkon sekolah, menatap pemandangan yang indah dari atas, membuat jiwanya sedikit tenang. Ia ingin mengistirahatkan hatinya meski sejenak kemudian ia teringat sesuatu. Dengan segera Vale mengambil benda pipih itu dari saku lalu menghubungi Aditya agar menjemput Kenzo terlebih dahulu karena dirinya akan pulang terlambat.

Ini aneh. Sejak kapan Vale menyukai kesendirian? Bukankah dulu ia benci merenung seperti sekarang? Vale tak suka jika harus berada di suasana seperti ini, ia hanya menghabiskan hidupnya dengan berpesta. Cara Vale mengembalikan energi tubuhnya yang sempat habis hanya dengan bersenang-senang, berada dikeramaian dan berkumpul dengan teman-temannya.

Apa? Teman?

Mengapa sekarang rasanya sepi. Vale tak menemukan makna teman sesungguhnya. Ke mana semua orang?

Tak terasa buliran bening mengalir membasahi pipi. Hidungnya terasa gatal hingga beberapa kali gadis itu harus menghirup napas dalam-dalam saat kebetulan juga mendadak dadanya menjadi sesak. Membuat Vale harus bernapas melalui mulut.

Beberapa kali, Vale memukuli dadanya saat merasakan ada yang mengganjal di sana. Tangisnya semakin menjadi. Ia terisak, mengapa rasanya bisa sesakit ini? Bahkan ini lebih sakit saat putus dari Rio, pacar pertamanya. Meskipun Vale kelihatannya adalah bukan cewek baik-baik. Namun, ia tak pernah bermain-main dengan kata cinta.

Tak selang beberapa lama dari itu, bel pulang sekolah berbunyi. Vale menoleh ke bawah, lalu mengusap buliran bening itu. Bukannya langsung pergi dan menuju kelas untuk membereskan barang-barangnya dan pulang ke rumah, Vale malah menatap para siswa-siswi yang sedang berbondong-bondong ingin pulang ke rumah masing-masing.

Jika dulu pulang lebih awal dan ikut berdesak-desakan dengan yang lain adalah keinginan Vale yang harus terwujud. Namun, sekarang gadis itu lebih memilih berdiam diri dan menunggu semuanya sepi.

Sudah hampir lima belas menit Vale berada di sini. Panas matahari yang sangat terik seakan merasuk ke pori-pori kulit. Gadis itu melirik ke bawah, suasana sudah tidak tampak sunyi.

Takut semisal penjaga sekolah mulai bergerak dan Vale terkunci di sini itu tidak lucu juga, kan?

"Apa gue turun aja?"

Akhirnya Vale keluar dan turun perlahan dari balkon sekolah.

Dengan santai ia melangkah. Menatap koridor sekolah yang sudah sepi.

Seperti berjalan mengendap, Vale mulai memasuki kelas yang sudah tak berpenghuni. Bukannya takut, hanya saja ia malas bertemu orang-orang yang sudah menyakiti hatinya.

Setelah Vale selesai membereskan barang-barangnya, ia berjalan keluar kelas hingga pandangannya terhenti pada gerombolan yang berada di mading sekolah. Sontak Vale mematung di tempat saat kedatangannya membuat semua orang yang berada di sana langsung menjadikan dirinya pusat perhatian.

"Akhirnya yang ditunggu dateng juga!"

"Gila, masih berani aja dia nampang di sini!"

"Nggak punya malu emang, sih, dia itu!"

"Mungkin karena jatuh miskin, makanya berani jual diri buat menghidup ii kebutuhan sehari-hari."

Vale yang sedari tadi diam mendengar perkataan itu, tiba-tiba harus tersentak dan akhirnya pun berkata, "Heh, jaga ya ucapan kalian!"

Bukannya menjawab, mereka malah menatap Vale dengan tatapan sinis kemudian karena penasaran apa yang membuat orang-orang belum pulang dan masih tetap berada di sini, ia pun mendekat memasuki kerumunan itu hingga berita tentang keluarganya yang jatuh miskin karena hutang papanya tiba-tiba saja sudah tertempel di sana. Tak hanya itu, bahkan di lain sisi ada foto dirinya yang sedang berada di tempat—PSK?

Tunggu, kapan Vale berada di tempat tersebut?

"Pelacur!"

Perkataan itu membuat Vale menoleh, hingga sebuah remasan kertas tiba-tiba saja mengenai dirinya bersamaan dengan orang-orang yang sedang menyoraki Vale hingga tatapan itu bertemu.

Mengingatkan kejadian bahwa ia memang pernah pergi ke sana, bukan menjadi pekerja melainkan mencari sosok pembeli. Iya, Vale memang sempat menjual barang branded yang dia punya dan si pembeli ingin diantarkan barang itu di tempat tersebut. Vale ingin ia pergi ke sana bersama—Freeya.

Benar, Freeya adalah satu-satunya orang yang mengetahui jika keluarganya jatuh miskin juga orang yang berada di tempat kejadian karena Freeya-lah yang mengantarkan dirinya ke tempat tersebut.

Tak habis pikir, sahabat yang paling Freeya percaya berani melakukan hal sekonyol ini.

Dada Vale kembali sesak, ia melupkan emosinya dengan berteriak. Membuat orang yang berada di sana mengira bahwa Vale sedang kesetanan.

"Freeya, bajingan lo!" Ia berlari, lalu langsung menjambak rambut Freeya. Sontak perlakuan mendadak itu justru malah membuat suasana menjadi heboh.

Veronica maju, ia langsung mendorong tubuh Vale saat Freeya malah diam. Terlihat dari bola matanya yang sempat berkaca-kaca dan tertunduk lemas seakan memang membenarkan dugaan Vale. Namun, dengan segera tangan Vale berpindah saat gadis itu didorong hingga terjatuh di lantai, disusul dengan lemparan kertas yang membuat Vale menghalaunya menggunakan kedua tangan.

Vale tak bisa melawan, lemparan itu sekarang bukan hanya kertas saja tetapi bau amis yang terpancar dari telur ayam sempat mengenai rambutnya hingga terlihat lepek dan bau.

***

Beberapa kali Vale mengumpat saat mengingat kejadian itu. Mana ada angkutan umum yang mau mengizinkannya masuk saat ia berlumuran telur mentah seperti ini?

Gila, semua orang yang ada di dunia ini mengapa menggila?

Dunia memang kejam. Sungguh, adakah orang yang benar-benar baik di dunia ini?

Bahkan orang yang Vale anggap baik sekalipun berani melakukan itu. Vale masih tak percaya bahwa Freeya bisa melakukan perbuatan terkeji, menyebarkan informasi itu dan yang lebih parahnya lagi sampai memfitnah dirinya.

Atau jangan-jangan Freeya juga yang memfoto dirinya saat Vale dan Genta terjatuh ketika memanjat tembok di belakang sekolah? Mengingat kejadian itu bersamaan dengan jam olahraga.

Freeya adalah orang satu-satunya yang Vale percaya setelah seluruh kebahagiaannya menghilang, orang yang sudah Vale anggap sebagai tempat rumah keabadian. Ternyata benar, bahwa di dunia ini tak ada yang benar-benar abadi.

Vale menatap langit-langit, berharap papanya melihat dari atas sana bahwa anaknya sedang berusaha kuat melawan manusia.

Entah sudah berapa angkutan umum yang menolak Vale mentah-mentah karena tidak memperbolehkan dirinya masuk. Lalu dengan sangat terpaksa Vale harus berjalan kaki bermeter-meter hingga pada akhirnya ia sampai di rumah.

"Kak, lo kenapa?" sapa Aditya sambil tertawa saat melihat kondisi Vale yang tampak berantakan.

Tak menanggapi, Vale tetap berjalan masuk ke rumah dengan tatapan kosong. Menjatuhkan tasnya langsung di lantai bahkan gadis itu sempat menabrak tembok hingga membuat Aditya tak enak hati sudah menertawakan kakaknya seperti itu. 

Aditya tak pernah melihat kakaknya seperti ini. Apakah ada hal buruk yang ia lalui hari ini? Ingin rasanya Adit berkata seperti itu, tapi hanya tercekat sebatas tenggorokkan.

Ini tak biasanya, kondisi Vale sekarang benar-benar terlihat kacau. Ia bagaikan zombie yang sedang berjalan tanpa pikiran dan perasaan. Benar-benar kosong.

***

Jangan lupa meninggalkan jejak

Titik Lebur (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang