11. Titik Leleh

26 2 0
                                    



Es batu juga bisa mencair

.

.

.

Kering sudah rasanya air mata Vale karena kebanyakan menangis. Ia bangkit saat sebelumnya berjongkok di parkiran sekolah. Vale melangkah dengan pandangan yang kosong.

Terlihat Freeya, Hera dan Veronica yang sedang keluar dari persembunyian. Sepertinya mereka sedang menghindari wartawan yang seakan tadi sedang menyerbunya.

Vale menghentikan langkah lalu melambai kepada mereka tapi kehadiran Vale seakan tak ada, mereka tetap melanjutkan langkahnya tanpa melihat ke arah Vale.

Vale mengembuskan napas, dengan sekuat tenaga ia menampilkan senyuman terbaiknya dan kembali berjalan ke arah gerbang sekolah. Entah, Vale juga heran mengapa tadi para wartawan itu bisa masuk ke sekolahan ini.

Lagi, dan lagi langkah kaki cewek itu harus terhenti saat sebuah air yang berasal dari genangan air di pinggir aspal mengenai tubuhnya hingga basah. Vale mengumpat lalu kaca mobil itu terbuka dan tampaklah penghuni di dalamnya. Veronica menyorakinya sambil mengacungkan jempol ke arah bawah. "Mana mobilmu, Tuan Putri. Kok jalan kaki, sih!" Saat Heera yang menyetir sedangkan Freeya duduk di jok belakang hanya membuka kaca mobilnya sekilas lalu menutupnya kembali. Biasanya jika dalam kondisi seperti inilah Freeya yang akan membantu.

Kesabaran Vale hari ini benar-benar sedang diuji.

Ketika mobil itu sudah melaju kencang tiba-tiba saja air mata Vale kembali menetes, bukan karena perlakuan Veronica yang menyebalkan hanya saja saat menatap Freeya--yang dulu sebegitu dekat--kini menjadi asing.

Ternyata rasanya begitu sesak ketimbang diputusi oleh seorang pacar secara sepihak.

Vale kembali melangkah, ia langsung mengusap air matanya takut jika harus ketahuan oleh orang lain saat melihat sebuah angkot terhenti di hadapannya.

Sesampainya di rumah rasanya aneh saat Wulan yang biasanya menyambut kedatangan Vale saat pulang sekolah tapi kini sangat sepi. Vale merasa sangat kesepian.

Tubuhnya terjatuh di lantai. Ingatan beberapa hari yang lalu saat bersama Wulan menangis di tempat ini kembali terngiang.

"Mama Vale rindu," lirihnya kemudian.

Jika diingat-ingat kembali, mengapa dulu ia sangat membenci mamanya begitu dalam? Padahal wanita itu benar-benar sangat menyayanginya hingga Vale baru memahami perkataan Wulan pada waktu itu.

Ia baru menyadari penyebab Vale benci kepada mamanya hanyalah sebuah sifat kekanakan yang mengira Wulan lebih sayang Aditya ketimbang dirinya, padahal itu semua hanyalah sebuah pikiran Vale sendiri hingga sebuah deringan ponsel yang menyadarkan Vale pada kenyataan.

Dengan segera cewek itu mencari ponselnya lalu menarik tombol hijau itu ke atas. "Assalamualaikum, apakah benar ini dengan kakaknya Kenzo?" Terdengar suara dari arah seberang sana.

"Waalaikumalam. Iya, dengan saya sendiri. Mohon maaf ini siapa, ya?"

"Jadi, begini saya gurunya Kenzo di sekolah karena beberapa hari yang lalu Bu Wulan selaku mama Kenzo berpesan agar menitipkan Kenzo kepada saya selagi kakaknya belum menjemput karena pulang dari sekolah. Katanya jam segini kakaknya sudah pulang makanya saya telepon hanya ingin memberi info bahwa Kenzo sudah bisa dijemput di rumah."

Untuk beberapa menit Vale masih terdiam, mengingat-ingat sesuatu hingga otaknya menemukan sebuah berkas yang sempat terselip.

"Astaga. Iya, Bu. Maaf gue kelupaan—eh maksudnya saya. Aduh, maaf-maaf."

Titik Lebur (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang