13. Campuran Zat

23 2 0
                                    

Tuhan, Vale capek. Mengapa masalah ini terus bertambah?
.
.
.

Dengan mengembuskan napas lega Vale keluar dari ruangan itu. Entah, rasanya abu-abu saat Vale menjawab pertanyaan wawancara kerja tersebut tanpa berpikir panjang terlebih dahulu. Seperti tanpa persiapan tapi mengharapkan nilai yang memuaskan.

Langkah kakinya terhenti saat Vale menatap sosok yang ia kenal. Dari tempatnya berdiri terlihat Freeya, Jovanka, Veronica dan Heera sedang berada di kafe ini saat mereka tampak tertawa puas dibanding dirinya yang sedang dirundung kesusahan.

Vale mendesah frustrasi. "Dunia emang nggak adil!"

Melihat teman-temannya terlihat bahagia, membuat hati kecil Vale merasa iri.

Ia benci melihat teman-temannya yang bahagia tanpa melibatkan dirinya di sana tapi tidak dengan Freeya. Mengingat Vale dan Freeya sudah cukup lama berteman sehingga Vale tidak pernah bisa marah dengan Freeya. Namun, persahabatan itu harus hancur seketika hanya karena kesalahpahaman. Vale bersumpah, ia akan mencari dalang dari ini semua!

Dengan cepat Vale berjalan menghampiri mereka. Sebuah sisa minuman yang ia ambil dari meja lain—saat pemiliknya sudah tidak ada--langsung saja Vale tumpahkan pada makanan milik Jovanka, dan Veronica lantas membuat penghuni meja di sana menghentikan tawa lalu menoleh ke arah Vale.

Lantas Veronica langsung berdiri. "Gila nih anak!"

"Apa lo? Nantangin gue?"

Tantang Vale yang kini beradu tatap dengan Veronica—saat sebelumnya duduk paling samping.

"Emang lo nggak puas, ya. Udah buat kepala gue berdarah?"

Vale menoleh saat yang berbicara adalah Jovanka.

Jujur, dalam hati kecilnya Vale ingin mengatakan permintaan maaf atas kejadian itu.

Masih ada perasaan tidak tega yang menyelimuti benak Vale hingga sekarang apalagi harus melihat perban yang melilit di kepala Jovanka membuat Vale dihantui perasaan bersalah. Namun, dengan cepat Vale langsung menangkis pikiran itu. Bagaimana pun juga Vale tidak boleh memperlihatkan sisi lemahnya pada orang lain.

"Lo-nya aja yang lemah. Gitu aja jatuh terus gue yang disalahin, hah?"

"Emang lo yang salah, kan? Masih aja nggak ngaku lagi!"

Tangan Vale bersedekap di depan dada. "Kalian pergi deh dari sini. Gue muak ngeliat wajah kalian."

"Emang lo yang punya kafe ini sampe ngusir-ngusir kita?"

Vale menoleh ke arah Veronica. "Kalo iya, emang kenapa?" jawab Vale sambil melotot.

Mendengar pernyataan itu sungguh membuat Veronica muak lalu dengan cepat ia langsung menjambak rambut Vale dengan kasar hingga pertengkaran kecil itu pun terjadi.

Di luar dugaan, Freeya yang sedari tadi diam kini tiba-tiba saja menggebrak meja hingga membuat Vale dan Veronica menghentikan aktivitas sebelumnya.

"Bisa diem nggak, sih? Gue capek ngeliat kalian berantem," ucap Freeya kemudian juga ikut berdiri dan berjalan mendekati Vale. "Lo juga. Sampe kapan sih lo kayak gini terus, hah? Dari dulu nggak berubah aja sifatnya!" sambung Freeya sambil menunjuk-nunjuk ke arah Vale.

"Udah tahu sekarang miskin. Nggak usah ngaku-ngaku deh punya kafe ini!"

Sontak perkataan Freeya membuat napas Vale seakan tercekat di tenggorokan. Kedua tangannya meremas kuat di bawah lalu menoleh ke arah teman-temannya yang lain. Mulutnya seakan membeku, tak mau mengambil resiko lain karena udah terbawa rasa malu. Dengan segera Vale langsung pergi meninggalkan kafe tersebut tanpa kata-kata.

***

Untung saja tadi tidak ada Genta sewaktu Vale menjemput Kenzo di rumah gurunya sehingga Vale tidak perlu repot-repot mengeluarkan tenaga untuk bersikap tak acuh.

Kini bisa bernapas lega saat Vale dan Kenzo sudah sampai di rumah, tapi Aditya belum menampakkan batang hidungnya sama sekali. Hal tersebut membuat Vale semakin waswas.

Ia pun berkeinginan untuk melaporkannya kepada polisi, mengingat kantor polisi lumayan jauh dari kontrakannya sehingga Vale memutuskan berjalan kaki saja untuk berhemat agar tidak mengeluarkan biaya transportasi juga sekalian mencari keberadaan Adit di sepanjang jalanan.

Kali ini Vale mengenakan pakaian yang agak santai. Tidak ada barang branded yang melekat pada dirinya lagi karena sudah ia berikan kepada bapak-bapak--pemilik kandang ayam yang ditabrak oleh Adit-- supaya mau pergi dari rumahnya waktu itu dan akan membayar sisanya menyusul.

Hanya ada kaos oblong berwarna putih dengan celana pendek levis yang kini melekat di tubuh. Tak lupa juga Vale membawa Kenzo. Namun, tiba-tiba saja teringat pada adiknya yang paling kecil. Ia sangat merindukan adik bayi itu sehingga Vale pun berniat untuk mampir sebentar di panti asuhan.

Sesampainya di panti asuhan tak kuasa Vale menahan air mata saat menggendong bayi itu yang sudah terlelap dari tidurnya. Tak pernah terbayangkan dalam hidup Vale akan menjadi seperti ini. Kehidupannya yang penuh kemegahan dengan sekejap mata lenyap begitu saja.

Terlihat buliran bening menetes menjatuhi pipi bayi tersebut. "Tenang ya, Dek Keira. Sebentar lagi mama bakalan nebus Dik Keira terus kita bisa tinggal bersama-sama lagi."

Perlahan Vale mengecup kening bayi tersebut lalu mengusap sisa-sisa air mata saat tangisan Vale ketahuan oleh Kenzo. "Kak Vale, nangis?"

Dengan segera Vale menggeleng. "Kak Vale hanya menangis karena rindu Adik Keira. Lihat ini! Kenzo, udah jadi kakak. Mau cium?"

Kenzo mengangguk polos, lalu Vale merendahkan tubuhnya agar Kenzo juga bisa mengecup kedua pipi adiknya yang tak kalah menggemaskan.

Pandangan Vale beralih menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul empat sore. Cepat-cepat Vale melangkah ke arah penjaga panti asuhan untuk menyerahkan kembali bayi itu dalam gendongan.

"Ini, Bu. Makasih, ya. Saya mau pamit pulang dulu, soalnya masih ada urusan lain."

Wanita paruh baya itu mengambil bayi tersebut "Sebentar ya, Mbak. Jangan pulang dulu."Kemudian melangkah ke belakang saat mereka berada di ruang tamu.

Vale pun menurut, ia kembali duduk bersama Kenzo.

Beberapa menit setelah itu penjaga panti asuhan datang kembali dengan membawa selembaran kertas. "Ini kebetulan ada undangan pengusapan anak yatim piatu. Nah kebetulan Mas Kenzo ini kan sekarang anak yatim, jadi bisa sekalian ikut. Lumayan uangnya bisa buat beli keperluan sekolah."

Ada perasaan sesak saat mendengar pernyataan 'anak yatim' meskipun pada kenyataannya memang mereka sekarang hanyalah anak yatim yang dipaksakan dewasa oleh keadaan.

"Gimana, Mbak? Mau atau tidak? Sebenarnya ini undangan untuk anak yatim yang ada di panti asuhan ini tapi sekalian Mas Kenzo ikut juga nggak apa-apa."

Vale mengerjap. Pikirannya pun sudah kembali pada kenyataan.

"Acaranya kapan, Bu?"

"Nanti malam."

"Baiklah, Bu. Nanti saya ikut," ucap Vale mengambil undangan itu yang langsung dimasukkan ke saku celana tanpa berniat untuk membacanya kembali.

Sepulang dari panti asuhan Vale dan Kenzo kembali melangkah sambil mencari Aditya di sepanjang jalan. Barangkali adiknya itu ada di sana. Namun, ada sesuatu yang menyita perhatian Vale di ujung jalan sana.

"Bukankah itu Heera sama—Rio? Jadi, mereka jadian?"

*** 

Jangan meninggalkan jejak

28 April 2022.

Titik Lebur (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang