3. Mimpi buruk

81 18 166
                                    

.

.

.

Es batu tak selamanya membeku juga

.

.

.

"Apa sih, Dit. Gue ngantuk banget!"

Mata cewek itu terasa bengkak karena menangis semalaman kemudian ia kembali tertidur.

"Udah, Kak. Beresin baju dan barang-barang seperlunya aja." Kelopak mata Vale terbuka lagi saat mendengar suara Wulan. 

Ia menoleh ke sumber suara. Ada apa ini semua?

Tatapan Vale beralih menatap Aditya. Ia tertegun saat melihat muka adik yang menyebalkan itu seperti abis menangis lalu pandangannya beralih ke arah lain. Ternyata di kamarnya bukan hanya ada Mama dan Aditya saja. Ada Kenzi, Pak Joko dan Mbak Mina yang sedang menggendong adik bayinya. Namun, ada juga beberapa pria lain yang tak dikenalnya masuk. "Eh, mereka sia--ini ada apa, Ma?"

Akhirnya pertanyaan itu pun terlontar juga.

"Ru-rumah ini disita sebagai jaminan, Kak. Karena papa ternyata mempunyai hutang dan ini sudah jatuh tempo dari tanggal yang dijanjikan," ucap Wulan sambil mengusap-usap wajah Aditya yang sedang memeluk mamanya karena menahan tangis.

Seperti mimpi di siang bolong. Vale tak salah dengar, kan?

Vale langsung terduduk dari tidurnya. Ini bukan rutinitas pagi seperti yang biasa cewek itu lakukan tanpa menggeliat. Vale mengucek bola mata, berharap bahwa ini mimpi dan kembali tertidur lalu bangun-bangun sudah seperti semula.

Vale tersenyum kemudian tertawa puas. "Jangan bercanda, Ma. Nggak lucu." Kemudian melihat Aditya yang sudah menangis dan menutupinya di pelukan Wulan juga melihat koper yang sudah berserakan di lantai membuat Vale kembali pada kenyataan. "Serius, Ma?"

Wulan hanya menahan tangis sambil mengangguk.

"Lalu jika rumah ini disita, kita tinggal di mana, Ma?"

Di kolong jembatan.

Itu adalah perkataan Vale dulu yang pernah ia lontarkan saat merundung murid lain di sekolah.

Selintas ingatan itu muncul bertubi-tubi hingga membuat Vale berteriak sambil menutupi telinganya. "Nggak!" Dan untuk pertama kalinya lagi Vale menangis tanpa memikirkan penilaian orang terhadap dirinya.

Ia menangis sejadi-jadinya saat berada di atas kasur lengkap dengan selimut tebalnya. Akankah ia suatu saat nanti masih bisa menikmati tidur di spring bed king size miliknya seperti sekarang?

"Ayo, Kak," kata Wulan lagi dengan lembut.

Vale menghirup lendir yang berada di dalam hidungnya. "Tinggalin Vale sendirian dulu di kamar, Ma. Vale mau beresin barang-barang ini sendiri."

"Mohon maaf. Sesuai perjanjian saat beres-beres harus terpantau dan diawasi, maka dari itu—"

"Kalian harus keluar dari sini kalo mau cepet!" Vale mengusap sisa-sisa air mata lalu berdiri dan berjalan mendekati pria itu. "Apa? Mau nantang?" Vale menarik kerah pria tersebut lalu dengan cepat Wulan menengahi.

"Sudah-sudah." Wulan berjalan pada pimpinan pria tersebut saat pria itu sedang merapikan kembali pakaian akibat ulah Vale sebelumnya. Di lain sisi sang pembuat ulah sedang dipegangi oleh Pak Joko saat Vale tetap memasang wajah menantang.

Titik Lebur (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang