Mereka diseret ke kantin oleh Naswa setelah ketahuan sedang berduaan—lebih tepatnya kenalan—di depan ruang sarana dan prasarana tadi. Naswa melipat kedua tangannya di atas meja, Inshira hanya duduk santai, sedangkan Adami menopang dagu dan memasang wajah malas.
"Kalian udah saling kenal sebelumnya, apa gimana? Tadi ngapain wajah deket-deketan begitu? Lupa ini lagi di sekolah?" tanya Naswa dengan alis bertaut dan tatapan mata menginterogasi, "eh, di luar sekolah juga nggak boleh," lanjutnya meluruskan ucapan sebelumnya.
Adami menegakkan punggung dan membalas tatapan Naswa, lantas bernyanyi, "Cacing-cacing di perut minta dikasih makan." Dia sedikit memberi penekanan di kata terakhir yang dinyanyikan.
"Wa, mending kamu pesenin kita makan, deh. Bentar lagi bel, nanti yang ada kita nggak keburu pesen makanan." Akhirnya Inshira bersuara.
"Bener, tuh, kata temen sebangku lo. Ntar pas belajar malah nggak fokus karena lapar," tambah Adami.
Naswa memukul meja pelan dengan sudut bibir yang terangkat. Mungkin jika di film, bisa dilihat sebuah lampu bohlam berwarna kuning menyala di samping kepalanya. Di benaknya terlintas ide. "Sebagai bentuk salam kenal kita, gimana kalo kamu aja yang pesen makan? Kalo bisa sekalian traktir, ya. Kamu, kan, ganteng. Apa nggak malu kalo dipesenin sama cewek dan kamu enak-enakan tinggal nunggu doang?"
Kalimat terakhir itu terdengar begitu menyebalkan di telinga Adami. Si aduh. Salam kenal, katanya? Tahu nama dia aja nggak, batin Adami.
"Eh, kamu belum tau nama aku, ya? Aku Naswa, tapi temen-temen manggilnya Wawa." Naswa mengulurkan tangannya seolah mendengar suara batin teman barunya.
Tanpa ragu Adami menjabat uluran tangan itu dan berkata, "Hai Naswa, semoga kita bisa jadi bestie, ya." Dia tersenyum dan cepat-cepat berdiri dari duduknya dengan ekspresi malas. Dia menghampiri stan Pak Janda untuk membeli batagor, karena sedikit lenggang daripada yang lain.
Inshira hanya bungkam sejak tadi. Pengakuan Adami sebagai tokoh fiksi yang dia tulis menguasai pikirannya. Rasanya tidak masuk akal. Mana mungkin mereka dengan mudahnya datang ke dunia nyata. Setahu Inshira, tidak ada jalan yang bisa ditempuh dari dunia fiksi menuju dunia nyata, selain ... teleportasi. Namun, itu bukan poin yang terlalu penting untuk Inshira pikirkan, yang perlu dipastikan adalah apakah benar Adami tokoh fiksinya atau malah jin qarin yang menyamar sebagai Adami alias Akhtar di cerita yang dia tulis?
Sementara itu, di samping Inshira ada Naswa yang mengagumi perilaku Adami. Sahabatnya ini sampai menopang dagu dengan kedua tangannya memperhatikan punggung laki-laki itu. "Ya ampun, dia langsung nurut."
Inshira mengguncang tubuh sahabatnya agar sadar dari lamunan indahnya. "Wa, sadar, Wa. Kayak pertama kali liat cowok ganteng aja." Faktanya Adami memang tampan, Inshira mengakui itu.
"Cowok ganteng banyak, tapi yang langsung nurut kayak Adami langka, Ci."
"Kamu nggak liat tadi wajahnya terpaksa begitu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Fictional Character Come True [COMPLETED]
Teen FictionJika sebagian pembaca dan penulis mengharapkan tokoh fiksi menjadi nyata, tapi tidak dengan Inshira. Saat hal itu terjadi padanya, justru dia menolak kenyataan tersebut karena kedatangan si tokoh fiksi, Adami, mengusik ketenangan hidupnya. Di sisi l...