Adami duduk di bangkunya dengan pandangan yang terus mengarah ke pintu. Beberapa temannya sudah masuk ke dalam kelas, sedangkan seseorang yang ditunggu kedatangannya tidak kunjung terlihat. Matanya terus bergantian melihat ke arah pintu dan ke arah jam dinding di atas papan tulis. Lima belas menit lagi bel masuk akan berbunyi. Adami menyalakan ponsel berniat untuk mengirim pesan, tetapi dia urungkan saat itu juga karena mengingat beberapa pesan yang dikirim kemarin saja hanya berakhir dibaca tanpa balasan apapun. Rasa bersalah masih menyelimuti dirinya.
Ini pertama kalinya Adami mencemaskan seseorang selain sang kekasih. Selama ini, dunianya hanya penuh dengan satu nama, yaitu Klarin, tidak ada yang lain. Adami beranjak dari bangkunya dan berdiri di ambang pintu kelas. Dua menit berselang, Adami menangkap Inshira dan Naswa yang berjalan santai sambil asyik tertawa.
"Kenapa baru dateng?" tanya Adami ketika kedua gadis itu tepat berada di depannya.
"Yang penting nggak kesiangan," jawab Inshira ketus.
"Lo masih marah sama gue?"
Pertanyaan itu membuat Naswa yang tidak tahu apa-apa bergantian menatap curiga kedua teman sekelasnya. "Eh, kunaon ieu teh?"
"Nggak tahu, nggak jelas. Udah biarin aja." Inshira menarik tangan Naswa untuk masuk ke dala kelas. Namun, tangan yang satunya ditahan oleh Adami.
"Tunggu," cegahnya, "gue akui kalo gue salah udah nanya kayak gitu. Gue nggak ada niatan buat nuduh lo sama sekali. Sekarang gue harus ngapain biar lo maafin? Oh iya, gue juga bawa gambar asrama yang kemarin lo minta." Adami masih berusaha meluluhkan hati Inshira karena pertanyaan yang dilontarkannya kemarin.
Mereka masih berada di ambang pintu, tetapi Adami tidak mempermasalahkan hal itu bahkan jika sekarang mereka menjadi pusat perhatian seisi kelas, Adami akan mengabaikannya. Baginya sekarang, yang paling penting adalah permintaan maafnya diterima agar keberlangsungan hidupnya selama di sini lancar. Mengetahui Inshira kecelakaan dan amnesia saja sudah menambah beban baru, lalu sekarang gadis itu enggan berbicara kepadanya. Itu jelas semakin mempersulit Adami.
Sedangkan Naswa yang semakin kebingungan dengan obrolan di antara Inshira dan Adami memilih untuk masuk duluan ke dalam kelas. Berharap mereka berdua bisa menyelesaikan masalahya.
"Udah kayak orang pacaran lagi berantem aja," gumamnya. Naswa duduk di bangkunya dan kembali memperhatikan Inshira, takut jika sahabatnya kembali merasakan sakit di kepala.
"Gue juga udah simpen susu cokelat di meja lo kayak biasa," tambah Adami seraya menunjuk meja yang ditempati oleh Naswa.
"Terima kasih, tapi nggak usah, aku bawa dari rumah. Aku juga nggak pernah minta buat kamu bawain." Nada jawaban Inshira masih sama seperti tadi, ketus. "Kalo soal flashdisk, tenang aja. Aku bawa dan nggak aku rusakin, kok."
Baru saja mulut Adami terbuka untuk membalas ucapan Inshira, bunyi bel masuk mendahuluinya. Adami menatap Inshira yang sejak tadi tidak pernah melihat ke arahnya. Inshira membuang muka ke arah yang lain. Akhirnya, yang bisa dia lakukan hanya menggeser tubuhnya untuk memberikan jalan lebih luas agar Inshira bisa masuk ke dalam kelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fictional Character Come True [COMPLETED]
Teen FictionJika sebagian pembaca dan penulis mengharapkan tokoh fiksi menjadi nyata, tapi tidak dengan Inshira. Saat hal itu terjadi padanya, justru dia menolak kenyataan tersebut karena kedatangan si tokoh fiksi, Adami, mengusik ketenangan hidupnya. Di sisi l...