"Widiiih, semringah banget itu muka," celetuk salah satu teman sekamar Adami.
Adami tidak merespons celetukan dari temannya, melainkan dia semakin mengembangkan senyuman itu. Dia menyimpan tas di atas meja belajar, selanjutnya membaringkan tubuhnya di atas kasur tanpa mengganti seragam terlebih dahulu. Kedua tangannya dibiarkan menjadi alas kepala di atas bantal.
"Bau-baunya ada kemajuan, nih," goda temannya.
"Iya, dia udah mulai mau nulis tiap hari, meskipun masih gue paksa. Terus gue seneng aja liatnya. Lo ngerasain seneng juga nggak, sih?" tanya Adami.
"Seneng, lah. Artinya tugas kita secepatnya bakal selesai. Gue bahkan besok udah bisa balik."
Ucapan laki-laki yang memakai hoodie berwarna hijau lumut dengan celana pendek berwarna hitam itu sontak membuat Adami langsung duduk. Teman sekamarnya memang datang lebih dulu daripada Adami, tetapi mengapa dia bisa sangat cepat menyelesaikan tugasnya? Adami semakin berharap jika Inshira akan terus menulis dan segera menyelesaikan ceritanya agar Adami bisa kembali dan bertemu lagi dengan Klarin.
"Gue juga jadi pengen cepet-cepet balik. Kangen ayang bebeb Klarin," keluh Adami. Wajah semringahnya hilang seketika saat mendengar kabar baik yang dibawa oleh teman sekamarnya.
"Alay," kekeh teman sekamarnya, "tapi lo harus bisa bedain rasa seneng karena author lo udah mulai sering nulis, sama rasa seneng waktu naksir sama pacar lo. Takutnya malah ...." Teman sekamarnya sengaja menggantungkan ucapannya, dia tahu Adami pasti mengerti ke mana arah pembicaraannya.
Adami termenung memikirkan ucapan yang baru saja dia dengar barusan. Dia meyakini jika rasa senangnya hanya sebatas karena melihat Inshira mulai sering menulis. Toh, jika memang dirinya secara tidak sengaja tertarik pada Inshira, hal itu tidak akan berlangsung lama karena Adami pasti akan meninggalkan Inshira nantinya.
"Nggak ada larangan yang bilang kalo tokoh fiksi nggak boleh naksir sama author-nya. Begitu pun sebaliknya."
Setahu Adami saat mendatangi dunia nyata untuk menemui Inshira, tidak ada larangan yang tersirat maupun tersurat mengenai jatuh cinta, tertarik, atau bahkan nyaman dengan seseorang di dunia nyata ini. Itu artinya tidak masalah, bukan, jika Adami merasakan hal itu, meskipun dirinya adalah karakter fiksi. Namun, dia juga dianugerahi perasaan oleh author-nya sendiri.
"Perasaan itu datang tanpa kompromi. Jangan ngasih harapan seakan lo bakal seterusnya nemenin dia. Jangan bikin dia berharap lo akan datang lagi nanti. Bertindak sewajarnya." Teman sekamarnya menghampiri Adami kemudian menepuk pundaknya.
Adami mengembuskan napas frustrasi. "Kenapa gue yang harus turun tangan, sih, bukan Klarin aja?" keluhnya. Jika bisa mengulang, Adami harap dirinya tidak terpilih saat itu. "Doain aja semoga ketidaksengajaan itu tidak akan pernah terjadi."
"Doanya dibarengi usaha," ungkap teman sekamarnya, "gue mau nyari makan, lo mau titip sesuatu nggak? Biar gue beliin sekalian."
"Traktir dong pastinya," katanya disertai seringai jahil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fictional Character Come True [COMPLETED]
Teen FictionJika sebagian pembaca dan penulis mengharapkan tokoh fiksi menjadi nyata, tapi tidak dengan Inshira. Saat hal itu terjadi padanya, justru dia menolak kenyataan tersebut karena kedatangan si tokoh fiksi, Adami, mengusik ketenangan hidupnya. Di sisi l...