EPISODE 4

1 0 0
                                    

Di depanku sudah ada rumah baru yang nanti akan di huni keluargaku.

Terasa sekali perbedaan suasanya dengan rumah di Jakarta, mulai dari cuaca yang lebih teduh, lingkungan yang lebih bersahabat tidak berisik seperti di Jakarta, dan yang paling membuat perbedaan adalah karena di rumah kali ini banyak pepohonan hijau membuat udara sekitarnya menjadi lebih segar.

Dari lingkungan nya saja sudah terasa sekaki perbedaan nya karena di Tangsel rumah keluargaku persis di pinggir jalan sehingga lebih terasa sumpek dan berisik, namun kali ini didalam komplek.

Aku tidak langsung mengambil barang terlebih dahulu karena masih mengamati suasana yang ada di sekitar rumah baruku.

Ada angin berhembus yang bisa membuatmu kembali bersyukur dengan apa yang sudah kupunya saat ini, suasana nya sangatlah indah.

Ada sekitar 5 kucing di komplek sejauh mata memandang, mungkin si Boy tidak akan kesepian disini. Ada juga rumput yang tidak bisa berhenti bergoyang seakan seperti menyambut kami sekeluarga.
Ada pohon rambutan di area taman depan yang diurus dengan sangat baik, pohon itu seakan-akan membisikkan telinga kita untuk tidur nyenyak. Sungguh suasana yang menenangkan.

Aku pun mulai menurun-nuruni barang milikku dan mulai memasukkan sekaligus menata nya di kamar baruku. Aku sudah membayangkan design baru untuk kamar baruku ini.

Tidak lupa aku membawa rumah-rumahan kucing untuk tempat tidur si Boy. Kemudian aku juga membawa pakaian-pakaian yang menurutku penting dan masih manusiawi untuk dibawa, ada juga beberapa yang kusumbangkan untuk yang lebih membutuhkan. Di sela-sela membereskan kamar tiba-tiba Acil datang dengan wajah kebingungan.

“bang liat jersey gua ga? Masa di kardus gua gaada” Tanya Acil sambil menggaruk-garuk kepala.

“lah gatau. kok tanya gua orang elu yang packing juga semalem” jawabku tidak peduli.

“iyaa ah elah setau gua udah dimasukin dah” keluh Acil lagi namun tidak kutanggapi.

“emang kenapa sih nyariin baju futsal? Mau futsal an lu?” tanyaku agak kasian semakin lama melihat wajah kebingungan Acil.

“iya besok mau main di gbk sama temen-temen sekaligus perpisahan” jawabnya membuatku heran.

“kalo gitu harusnya lu gua tinggal aja tadi… ngapain coba jauh-jauh ke Jakarta Cuma buat main futsal. Lebay banget” ledekku membuat Acil menatap sinis.

“lu mah gapaham bang orang gapunya temen. Makanya sosialisasi” balas Acil membuatku agak tersinggung namun ada benarnya juga.

“apa cil? Naturalisasi?” tanyaku coba mencairkan suasana sebelum ada perang dunia ketiga.

“halah pura-pura budeg” Ucap Acil yang sudah hafal siasat-siasat ku.

“yauda sono lu cari jerseynya kenapa jadi patung disini. Kamar gua ga butuh patung” ucapku sambil mengusir Acil pergi dari kamarku.

Saat sedang beres-beres tiba-tiba aku menemukan foto aku dan sahabatku juna saat masih SD namun di kelas 5 dia pindah negara karena urusan pekerjaan orang tuanya dan sejak itu aku kehilangan kontak dengannya. Namun sebelum kita berpisah kami pernah berjanji akan bertemu kembali entah dimana dan kapan tapi jika lelaki sudah bejanji maka 90% akan terjadi. Karena itu sampai sekarang aku masih menyimpan foto-foto kami berdua.

Foto itu masih kurawat dengan baik. Setiap malam aku mengelap bingkainya dan selalu kutaruh di meja belajar ku agar tidak pecah jika si Boy masuk ke kamarku dan mengacak-acak seisi kamar bak babi liar.

Selain foto itu kami juga punya kenang-kenangan lainnya yaitu mainan robot dan remote control mobil. Tepatnya sehari sebelum ia pergi aku mengunjungi rumahnya dan bermain bersama Juna dan di akhir sebelum aku pulang. Kami memutuskan untuk bertukar mainan. Dia memberiku mainan robot dan aku memberikannya remote control Lamborghini aventador.

Setelah selesai bernostalgia dengan foto-foto jaman SD dulu. Aku mulai mengeluarkan buku-buku pelajaran dan menata sebisa mungkin dan serapih mungkin sembari menunggu lemari buku ku datang.

Kemudian aku juga menemukan rubik-rubik koleksi ku mulai dari 2x2, 3x3, hingga 7x7. Sejenak aku mengotak-atik rubik 3x3 karena sudah lama sekali tidak bermain dan ternyata diriku masih mahir memainkan kotak warna-warni itu. Setelah aku menata semuanya dengan serapih mungkin aku memutuskan untuk pergi ke mini market terdekat karena lelahnya bukan main walaupun yang dirapihkan hanya barang-barang kecil saja.


   Bukan hanya rumah saja yang baru bagi keluargaku tetapi juga sekolah baru. Kebetulan aku dan Acil disekolah kan di sekolah yang sama. Bedanya aku kelas 12 dan Acil masih kelas 10 dan jurusan kami juga berbeda, aku IPS sedangkan Acil IPA. Menurutku tentang jurusan di sekolah-sekolah, tidak seperti yang di rumorkan. Yang katanya anak IPA pendiem namun bagiku tidak juga, begitu juga sebaliknya. Ada juga anak IPS yang rajin, pinter, dan kaku.

“bang anterin gua ya” ucap Acil. Hanya kujawab dengan dehaman karena aku masih fokus membaca berita. Memperbanyak literasi juga merupakan rencanaku untuk menjadikan nya kebiasaan baru di tempat yang baru ini.

“emang motorlu kenapa cil?” tanyaku sambil melanjutkan membaca berita.
“di bengkel hehe” jawabnya cengengesan membuatku heran.
Acil itu baru saja membeli vespa tua demi menjadi terlihat keren di sekolah baru, dan bagiku itu sangat bodoh.

“bang lu gaada niatan homeschooling apa? Kasian gua liat lu dimanfaatin temen lu mulu” ucap Acil membuatku berkata kasar sekaligus senang karena masih ada yang peduli tentang pertemananku.

“engga ah nanti jadi bego lagi gua. Lagian biarin aja kali kalo mereka gamau jadi temen gua, toh mereka juga yang rugi” jawabku sambil mengunyah roti.

“halah orang lu yang rugi juga, udah abis berapa ratus ribu coba” ucap Acil membuatku mengumpat namun memang ada benarnya juga.

“kan dulu cil itu dulu. Lagian maksud gua rugi bukan rugi harta” jawabku singkat. Setelah itu hening tercipta.

Setelah menghabiskan sarapan aku mengambil kunci mobil dan mengeluarkannya dari garasi. Kemudian aku mulai menyetir dan Acil sibuk dengan hp nya di kursi samping pengemudi.

Sialnya pagi itu aku dan Acil terkena macet dan membuat kami berdua telat di hari pertama sekolah ini. Jika sudah begini maka tidak mungkin tidak dimarahin mamah. Aku dan Acil hanya bisa pasrah dengan keadaan yang ada.

Jarak antara rumah ke sekolah kami kurang lebih sekitar  30 menit namun karena macet aku tidak bisa menancap gas.

Karena macetnya parah akhirnya aku memutuskan untuk memarkir mobilnya di minimarket dekat sekolah. Rupanya didepan ada mobil yang bermasalah sehingga membuat kemacetan dan ditambah lagi ada angkot-angkot yang berenti di jalan membuat jalan yang memang sudah kecil itu menjadi lebih kecil.
*****

hati & logikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang