The Letter

517 29 2
                                    

Sebuah amplop dengan prangko yang tidak dikenali masuk ke kotak surat seseorang. Dapat dikatakan mengirim surat sudah ketinggalan zaman. Pegawai pos pun di kota sebesar ini hanya tersisa beberapa orang. Mengayuh sepeda dengan tas selempang yang tiap harinya terlihat kosong. Entah apa yang dipikirkan sang pengirim surat, mungkin ia ingin terlihat lebih klasik atau semacamnya.

Sehari berlalu dan pemilik kotak surat bahkan tidak tertarik sama sekali dengan keberadaan benda itu di pekarangan rumahnya. Berkali-kali ia berpikir untuk menghilangkan benda tak penting itu, tetapi niatnya selalu reda setelah ia melihat betapa kuno dan antiknya barang tersebut.

Seminggu berlalu. Pemilik kotak surat berulang berjalan acuh melewati kotak tersebut. Sesekali berjalan cepat, sesekali berjalan dengan menggeser kakinya dengan enggan. Tetapi matanya tidak pernah sekalipun melihat ataupun melirik kotak surat berbahan kayu itu.

Dua minggu berlalu semenjak terakhir kali pegawai pos lewat dan berhenti di depan rumahnya. Kali ini si pemilik rumah tengah berada di beranda, menikmati angin dan sinar matahari meski hanya lima menit setiap harinya. Matanya memincing melihat seseorang dengan sepeda dan selempang besar kosong berhenti di depan rumahnya.

Lelaki dengan jaket panjang itu menunduk tanda salam tanpa sepatah kata apapun. Pemilik rumah kembali membungkuk sebagai jawaban atas kesopanan lelaki muda tersebut. Tetapi rasa penasarannya terlalu besar untuk tidak mengucapkan apapun,

"Ehm... Ada perlu apa, jika aku boleh tahu?" dia berusaha sopan. Melihat lelaki dengan jaket panjang itu masih sibuk mengorek-orek isi tas selempang yang ia bawa.

"Oh, aku pegawai pos," jawabnya sembari tersenyum ramah.

"Pos? Wah ternyata masih ada cara klasik untuk berkomunikasi," ujar pemilik rumah sembari berjalan mendekat ke pemuda yang mengaku sebagai pegawai pos tersebut. 

"Ya, aku pun sedikit terkejut dengan semakin banyaknya orang yang mengirim surat di zaman sekarang," jawabnya dengan nada ramah dan senyuman yang bisa membuat siapapun akan betah melihatnya lama-lama.

"Surat itu dari siapa?" tanya si pemilik rumah.

"Sayangnya aku pun tidak terlalu tahu," jawab pegawai pos tersebut, "yang aku tahu ini untuk tuan Kozume Kenma."

Sedikit kejutan untuk Kenma, si pemilik rumah. Siapa yang masih mengiriminya hal seklasik ini? Apakah si pengirim tidak tahu semaju apa seorang Kenma ini. 

Setelah beberapa lama pegawai pos yang kikuk tersebut akhirnya menghela nafas panjang. Tangannya mengacungkan secarik surat dengan prangko dan nama Kenma tertulis di pojok amplop tersebut. Tidak ada tulisan lain di amplop tersebut, hanya namanya.

Kenma membalikkan surat tersebut berkali-kali, seolah berharap akan muncul petunjuk lain setelah ia membolak-balikannya. Tetapi nihil. Hanya prangko dan tulisan namanya. Tidak kurang tidak lebih.

"Hanya itu surat untuk hari ini," pegawai pos tersebut cepat-cepat mengambil sepedanya dan membungkuk sekali lagi. "Ah, tuan, sebelumnya juga kan anda pernah menerima surat, kupikir ini kelanjutan surat sebelumnya."

"Surat sebelumnya?" Kenma membeo kalimat terakhir si pegawai pos.

"Oh anda belum memeriksanya? Surat itu datang sudah agak lama, kumasukan ke kotak surat itu," pegawai pos tersebut mengangguk ke arah kotak surat yang sudah lama dihiraukan Kenma. Kemudian lelaki tersebut mengayuh sepedanya sembari mengucapkan sapaan yang terdengar seperti sampai jumpa tuan.

Kenma melangkah ragu mendekati kotak suratnya. Membukanya perlahan dan menemukan surat yang sudah memiliki noda kuning di beberapa tempat. Wajar saja, surat kotaknya terbuat dari kayu yang sudah hampir lapuk. Ia mengambil amplop tersebut dan membolak-balikkannya lagi.

Tangled (KuroTsuki Haikyuu Fanfic)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang