Jalan yang dia lalui dari awal sampai sekarang terlalu indah dan terlalu mudah. Dipenuhi bunga dan harumnya pujian. Meskipun untuk menjalani jalan ini, ia harus rela menutup kedua matanya dan menulikan telinganya.
Tubuhnya dikendalikan oleh sebuah mandat. Namun, bahkan sedetik pun ia tidak pernah bahagia dengan semua ini. Ia ingin membuka kedua matanya melihat semua keindahan beserta kebusukan dunia, mendengarkan segala kegaduhan dunia. Tapi jika ia membiarkan hal tersebut, maka hatinya akan menguasai seluruh kendali tubuhnya.
Sesaat setelah ia terjun langsung ke dunia nyata, ia ditempatkan pada sebuah posisi yang cukup tinggi di perusahaan bergengsi. Terima kasih kepada ayahnya yang entah apa dilakukannya, hingga membuat orang sepertinya bisa dengan cepat mendapat sebuah posisi yang tinggi.
Syukurilah. Itu yang mereka katakan.
Tetapi tidak semudah itu. Bahkan hal besar yang ia dapatkan tidak dapat dibanggakan sama sekali. Ia hanya menjalani semuanya demi menjaga hubungan baik dengan sang ayah.
Dibandingkan bekerja di depan monitor lama-lama, ia lebih senang membuat kulit ujung jarinya menebal karena menekan senar gitar kuat-kuat. Dibandingkan menggunakan kemeja rapi, dia lebih senang menggunakan celana pendek dan jaket lusuh kesayangannya.
Ia dapat berdiam di toko kaset selama berjam-jam tanpa merasa lelah. Namun ia tidak bisa duduk diam di sebuah ruangan dengan AC yang terlalu dingin tanpa suara appaun. Ia hebat dalam menemukan nada yang tepat, namun ia kesulitan untuk menemukan kata yang tepat untuk menjelaskan garis yang naik turun di layar.
Hari itu, ia merasa lebih sakit daripada hari-hari sebelumnya. Cuaca diluar apartemennya terlalu indah untuk dijadikan alasan, makan malamnya terlalu enak untuk disalahkan. Pada akhirnya, dibandingkan harus menghubungi rekan kerjanya dan beralasan, ia lebih memilih untuk duduk dan melamun menatap dunia luar dari jendela besar apartemennya.
Satu yang ia dengarkan hari itu. Sebuah lantunan lagu yang melantun dari gawainya. Ia sendiri tidak terlalu tahu lagu siapa ini, siapa yang menyanyikannya, apa arti dari setiap katanya. Tetapi yang ia ketahui adalah, setelah mendengar lagu ini ia ingin sekali melihat laut.
Lost at the sea. Itulah kalimat yang menggaung di kepalanya. Sepenggal kalimat yang terlalu candu untuk dilupakan atau diabaikan.
Ia bangkit dari duduknya. Berdiri di depan jendela besar yang menghadap ke gedung tinggi di seberang jalan. Ah, kupikir aku sudah cukup merasakannya.
Hal terakhir yang ia ingat tentang rumah sepetaknya itu adalah kain putih yang menutupi semua barang di dalamnya.
Ia mengemudikan mobilnya perlahan keluar dari bawah gedung apartemen. Beberapa kali berbelok sampai akhirnya memasuki sebuah komplek perumahan dengan gaya rumah yang terkesan cukup tua.
Ia keluar dari mobilnya dan berjalan memasuki rumah yang hampir dua puluh tahun menjadi tempat ia kembali. Disambut oleh dua lansia yang tersenyum riang melihat sang cucu yang berpuluh-puluh malam tak nampak.
Menunggu sampai matahari hampir terbenam dan ia duduk kaku di depan sang ayah yang terlihat tak senang dengan keberadaannya disini. Mukanya datar dengan garis muka yang tegas nan tajam. Matanya tertutup dan kedua tangannya terlipat di depan dada. Duduk dengan posisi bersila dan menghela nafas panjang nan berat berkali-kali.
"Jadi, apa yang membawamu kemari?" tanya sang ayah dengan lambat, seolah mengejanya kata demi kata.
Kuroo Tetsurou, lelaki dengan keberanian sebesar benih sawi tersebut menelan susah payah udara yang entah darimana datangnya dan memenuhi tenggorokannya. Ia hampir tersedak jikalau bukan karena sebuah kalimat yang menggelantung di ujung lidahnya,
KAMU SEDANG MEMBACA
Tangled (KuroTsuki Haikyuu Fanfic)
FanfictionAku menyukai musik. Seluruh hidupku aku habiskan untuk mendengarkan, mengapresiasi, mendalami, dan memahami musik. Aku dapat memahami musik lebih baik daripada siapapun, itulah yang kukira. Namun hidupku tidak bisa berdampingan dengannya. Sekeras ap...