Tangled (KuroTsuki Haikyuu Fanfic)

The One Who Get Bored

Mereka hidup dibawah atap yang sama. Tidur di ruangan yang sama, meskipun berjarak. Makan diatas meja yang sama. Hampir seperti pasangan sesungguhnya. Hampir. Namun hampir tidak akan pernah menjadi sempurna.

Tidak ada batas dalam mencintai. Kata mereka.

Dua insan yang bertolak belakang memilih jalan paling asing dan paling tidak masuk akal. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka. Mungkin mereka tidak pernah berpikir, maka dari itulah mereka menggiring diri sendiri menuju sebuah kisah cerita yang tidak pernah dibayangkan oleh siapapun.

Tentu mereka bukanlah orang yang saling berpapasan di jalan raya kemarin malam. Mereka saling mengetahui semenjak perguruan tinggi. Terpaut dua tahun, mereka adalah rekan canggung yang pasti dimiliki oleh siapapun di dunia ini.

Hanya mengenal nama satu sama lain, bertemu secara tak terduga, dan hanya saling membungkuk seadanya sebagai sapaan. Tidak pernah berbicara lebih dari dua menit, dan tertawa canggung bersama. Ya, sering kali hanya Kuroo yang tertawa, Tsukishima memiliki cara lain untuk menunjukkan ketertarikannya, diam misalnya.

Berpisah dan tak pernah berpikir untuk bertemu kembali. Selama dua tahun lebih, mereka bahkan hampir melupakan wajah satu-sama lain. Jika saja sahabat Tsukishima tidak mengingatkan kembali, maka ia yakin hidupnya tidak akan serumit ini.

Kau tahu kakak tingkat kita yang bernama Kuroo Tetsurou itu? Yang terkenal sekali! Kau tidak mengingatnya? Bagaimana bisa kau melupakan seseorang yang populer seperti dia? Ah itu tidak penting, aku dengar dia sekarang menjadi manajer di perusahaan besar loh! Dia keren kan? Padahal baru saja lulus. Ah sial, aku iri sekali!

Oh hebat. Hanya itu yang terucap dari mulut Tsukishima tiap sahabatnya itu mulai membual mengenai orang bernama Kuroo Tetsurou. Susah membuat seorang dengan hati yang hampir mati sepertinya tertarik dengan satu hal. Tak kunjung ia temukan hal yang dapat membuat dirinya berpikir untuk berusaha lebih keras ataupun membuatnya merasa lega tiap kali menyelesaikan suatu hal.

Setelah kelulusan, ia dan sahabatnya tersebut memilih untuk keluar kota dan beranjak semakin jauh dari kampung halamannya. Memilih pekerjaan paling stabil dengan rutinitas yang persis tiap harinya. Sang sahabat yang pintar bercerita dan memiliki semangat, dengan cepat beradaptasi dan berteman dengan siapapun yang berada di dekatnya lebih dari lima menit.

Ia membutuhkan hampir setengah tahun hanya untuk bisa berbicara dengan orang yang duduk di samping kanan dan kirinya. Setelah itu semuanya kembali menjadi baik. 

Bulan menjadi tahun. Lalu beberapa tahun berlalu seperti kedipan mata. Ia dihadapkan dengan sebuah kenyataan bahwa dirinya sudah mati. Tidak dalam artian sesungguhnya. Tetapi dirinya memanglah sudah mati, tidak ada cahaya kehidupan yang terpancar dari matanya. Rasa syukurnya semakin menghilang, tetapi rasa menyesal pun tak kunjung datang.

Ia membuka matanya tiap pagi berharap sebuah rasa datang menggapai hatinya yang kehilangan rasa. Tetapi berjam-jam ia duduk di pinggiran kasur tidak ada yang terjadi, yang berubah hanyalah cahaya matahari sudah cukup terang untuk membuatnya tersadar akan rutinitas membosankan miliknya.

Sang sahabat selalu datang ke meja kerjanya setiap hari, sekedar memberikan sapaan atau terkadang memberikan sekaleng kopi dingin dengan merk yang selalu sama. Dengan rasa yang sama, warna kemasan yang sama, dan dengan posisi yang selalu sama. 

Diakhir pekan ia bangun di jam yang selalu sama. Duduk di pinggiran kasur miliknya selama beberapa jam, tidak memikirkan apapun. Bahkan ia berpikir bahwa otaknya mungkin sudah terlalu bodoh hanya untuk memikirkan satu ditambah satu. Setelah merasakan cahaya matahari mulai menyelinap ke sela-sela gorden miliknya, barulah ia beranjak.

Masuk ke kamar mandi, makan selembar atau dua lembar roti tawar -terkadang sereal, minum segelas kopi atau teh. Lalu menghabiskan waktunya seharian menatap layar televisi. Yang menampilkan rentetan acara yang bahkan tak ia hiraukan.