1. Janji Digta

159 11 3
                                    

Sudah sore, hampir pukul lima. Gadis cantik dengan tinggi sekitar 163 sentimeter berdiri bersandar pada pagar trotoar. Jika dilihat-lihat, dia seperti sedang menunggu seseorang. Rambut hitam sedada dan pakaian serba pastel mempermanis tampilannya.

Sesekali gadis itu melirik layar ponsel di tangan. Mungkin belum begitu lama, tapi jika bicara soal menunggu. Waktu lima menit saja rasanya seperti sudah berjam-jam. Kerucut kecil di bibir ranum gadis itu menandakan sebesar apa sisa kesabaran yang dimilikinya.

"Kenapa Digta belum dateng, ya?"

Gadis itu memandangi ujung sepatu putih yang dia kenakan, suara lalu lalang kendaraan bermotor mulai terdengar memekakkan. Belum lagi, cuaca membawa angin kering dari Timur. Embusannya terasa dingin di waktu sore seperti ini.

"Alma coba telpon aja kali, siapa tau diangkat."

Waktu berjalan dua menit dari detik gadis itu mempertanyakan keberadaan Digta. Usahanya menghubungi orang yang dimaksud berbuah nada sambung yang tak kunjung berbalas. Tidak tahu apa terjadi dengan laki-laki bernama Digta itu di seberang sana.

"Digta ke mana, sih?" gerutunya lagi.

Alma kembali menunggu, berbalik menatap garis pantai di sisi berlawanan. Airnya mulai memantulkan warna langit oranye. Gadis itu menunduk, dia teringat kapan kali terakhir menatap senja bersama Digta.

Saat itu, mungkin tidak sampai lima menit mereka menikmati suasana tempat ini bersama. Karena setelahnya, Digta harus pergi dan Alma sendiri tidak bisa menghalangi. Sampai sekarang, setelah tujuh bulan saling mengenal. Dia bahkan masih belum tahu ke mana Digta pergi.

Memasuki musim pancaroba, Alma sadar ada yang berubah dari Digta. Warnanya tidak secerah dulu. Pesonanya, seperti perlahan-lahan memudar termakan waktu. Tapi kenapa? Alma masih tidak tahu apa alasannya.

"Digta, Alma pulang."

●●●

Sepanjang perjalanan menyusuri trotoar, Alma diam seribu bahasa. Sebentar lagi sampai di halte bus, dan perasaannya masih hampa setelah tahu Digta mengabaikan janjinya hari ini. Padahal, Digta yang Alma kenal bukan orang yang seperti itu.

Langkah Alma terhenti ketika angin musim berembus sedikit kencang. Lagi-lagi nama Digta mengganggu pikirannya. Baru sehari, Alma sudah rindu Digta yang selalu bisa membuatnya merasa aman dalam situasi seperti ini.

"Kamu ngapain di sini?"

Suara berat laki-laki menghantam gendang telinga gadis itu tiba-tiba, Alma terkejut. Dia berbalik demi menghormati orang itu. Entah benar atau tidak, tapi Alma sangat mengenal suara itu.

"Brama ngagetin ih!" omelnya.

Laki-laki yang dimaksud hanya terkekeh. Lucu melihat bibir ranum Alma mengerucut seperti itu. Dia tahu, pertanyaannya barusan tidak akan mengubah kenyataan bahwa dunia Alma sedang tidak baik-baik saja.

"Nggak baik keliaran sore-sore pas musim pergantian gini, nanti masuk angin," celetuk Brama, mengingatkan.

Alma menipiskan bibirnya, setuju dengan apa yang Brama ucapkan. Berkeliaran saat cuaca seperti ini, cari penyakit namanya. Apalagi ditambah dengan harapan Digta datang sementara waktu terus berjalan dan hari mulai gelap.

"Alma nungguin Digta, Bram," ucap Alma jujur. "Dia janji mau dateng, tapi-"

Bicara Alma terhenti. Hatinya seperti meminta untuk menyudahi permasalahan ini. Mungkin Digta memang sedang tidak bisa diganggu. Seperti kepergiannya yang menjadi senja terakhir Alma bersama dia. Sementara Brama, keterdiaman Alma sudah cukup memberi sinyal.

"Mau aku anterin pulang? Jam segini susah nyari bus," tawar Brama, mengubah haluan percakapan.

Alma terdiam sejenak sebelum mengangguki tawaran teman sekelasnya. Lagi pula, akan memakan waktu lama kalau memaksakan diri menunggu angkutan umum di halte. Sudah hampir pukul enam sore, jalanan juga mulai ramai kendaraan sipil.

Dengan motor yang Brama parkiran di pinggir jalan, Alma pulang. Tanpa ada kenangan baru dari sosok bernama Digta itu. Malah, Brama yang mengisi kekosongan sorenya kali ini. Walau, jika diibaratkan kanvas, Brama bukan lukisan yang Alma harapkan untuk selesai.

Selama roda kendaraan Brama berputar menuju kediaman Alma. Gadis itu tidak bicara jika Brama tidak dengan sengaja menanyainya ini itu. Topik apa saja sudah dia coba bahas dengan Alma, dan semua berujung canggung hingga keduanya sampai di tujuan.

"Hari ini belum beruntung," celetuk Alma, sambil membenarkan rambutnya yang sedikit berantakan.

Brama menghela napas pelan. "Digta pasti baik-baik aja, kok. Kamu jangan khawatir, ya?" ucapnya tiba-tiba.

Alma menatap Brama sayu, dia lelah jiwa raga hari ini. Mungkin dengan mempercayai ucapan Brama akan berbuah baik kedepannya. Walau Digta tidak memberinya kabar sedikit pun hari ini. Dan itu bukan hal yang patut diwajarkan.

"Yaudah, kalau gitu aku duluan, ya? Istirahat, tidur yang nyenyak, besok sekolah," pamit Brama, kembali melakukan motor setelah mendapati anggukan dari Alma.

Suasana kembali sunyi sepi. Menit berjalan melambat tanpa Alma sadari. Dunianya, seperti kembali memaksakan untuk berwarna semeriah pelangi. Ada yang hilang dari tempatnya.

"Digta, Digta ke mana?"

●●●

Usai mengantarkan Alma pulang, Brama berhenti di depan rumah putih. Gayanya sederhana, tidak seperti rumah modern pada umumnya. Ada laki-laki sebaya yang duduk diam di kursi beranda, sepertinya dia sedang asik membaca buku.

"Randya," panggil Brama, sambil melangkah mendekat setelah memarkirkan motor di pekarangan depan.

Laki-laki itu mendongak, bangkit demi merespons panggilan Brama. Dari pakaian yang Brama kenakan, sepertinya Randya tahu dari mana dan ke mana arah pembicaraan yang akan Brama bahas sore ini.

"Soal Digta?" tanya Randya, mencoba menebak.

Brama mengangguk pelan. "Ternyata dia punya janji sama Alma hari ini."

"Depan pantai?" tebak Randya lagi.

Kedua kalinya Brama mengangguk. Dia tahu, Randya sangat paham tempat-tempat yang sering Digta kunjungi. Termasuk, yang menurut Brama itu rahasia.

"Jadi, kamu nganterin Alma pulang?" tanya Randya.

"Iya, karena Digta nggak mungkin dateng."

Randya menghela napas, kembali duduk menutup buku yang masih di genggamannya. "Digta nggak akan datang. Jadwalnya dimajuin," ucap Randya membalas.

Tentang bagaimana dua manusia bernama Brama dan Randya ini mengetahui persoalan Digta. Panjang ceritanya tidak akan tersampaikan jika hanya lewat lisan. Terlalu banyak yang perlu dijabarkan, walau sudah coba dipendekkan.

"Tapi ...."

Randya tercekat, menatap Brama kaget sebelum akhirnya memeriksa waktu di ponsel. Sudah lewat pukul enam, walau hari belum sepenuhnya gelap. Tapi, kenapa Digta tidak menepati janjinya pada mereka juga?

"Digta nggak ngehubungin kita?" tanya Brama.

Randya terdiam. "Jam enam lewat, Bram. Digta bukan orang yang suka ngulur waktu."

Butuh beberapa detik untuk mempersiapkan diri menghadapi kenyataan yang masih belum terungkap. Perihal Digta, ada apa dengan laki-laki itu hari ini? Sampai mengabari saja menjadi hal yang sangat sulit dia lakukan. Jelas ini bukan Digta yang biasanya.

"Ran," panggil Brama, terkejut.

"Kita susul Digta sekarang!"

●RAINBØW

//220304//

##

Halooo aku kembali, apa kabar semuanya? Baik kan? Harus! Biar bisa baca ceritaku 😤

Well, aku nggak tau gimana cerita ini nantinya. Semoga kalian suka ya, jujur agak ketar-ketir sama part ini. Takut jelek t-t

Oke papay, see you next time

*Cerita tanpa jadwal, author update sesuai mood 😗

RAINBØW [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang