Keping 12 : Pupus

30 3 0
                                    

Setelah perbincanganku kemarin bersama Ferri hubungan kita mulai merenggang, sahabat yang dulu seperti saudara sekarang bagaikan orang asing. Semua memang salahku.

"Bran tumben lo sekarang betah di rumah, udah bosen nih maen sama cewek-cewek?" sapa Bang Gio heran dengan tingkahku akhir-akhir ini. Laki-laki itu merebahkan tubuhnya di sampingku sambil memandang langit-langit kamarku yang bercat biru terang. Di rumah, aku biasa dipanggil Gibran, satu-satunya orang lain yang memanggilku Gibran adalah Kayla. Nama populerku memang Alfa si Playboy kampus, julukan yang pernah membuatku bangga karena menjadi salah satu mahasiswa famous di kampus.

"Nggak papa Bang, gue cuma galau aja!" jawabku dengan enteng seraya mengikuti arah tatapan Bang Gio pada langit-langit kamar.

"Pasti tentang cewek lagi, lo tu ya nggak bosen-bosennya mainin perasaan anak gadis orang!" sahut Bang Gio dengan ekspresi berubah penuh selidik sembari membalik tubuhnya menjadi tengkurap.

"Jangan-jangan lo ngrebut cewek orang trus lo karjain? atau...," jeda Bang Gio tak melanjutkan ucapannya. Meskipun sudah lama tinggal di kota ini aku sekeluarga masih berlogat Betawi, papa Betawi tulen sedangkan mama asli Jombang.

"Hamilin anak orang?" tebakku penuh sarkasme mencoba baca pikiran Bang Gio.

"Ya nggaklah Bang, meskipun gue sering gonta ganti pacar, gue masih waras dan masih dalam jalur aman, adik lo ini masih punya iman, takut dosa Bang," protesku dengan kesal. Namun, Bang Gio justru tergelak dengan wajah menjengkelkannya.

"Syukurlah kalau lo masih waras!" jawabnya dengan terkekeh.

"Bang, gue boleh minta saran nggak?" ucapku dengan ragu, kurasakan wajahku memanas karena aku tahu Bang Gio pasti akan menertawakan aku.

"Lo ada masalah?" tanyanya sambil merubah posisi menjadi duduk, menatapku yang masih menatap langit-langit kamar.

"Gini Bang, gue jatuh cinta dengan gadis yang masih berusia 16 tahun, dia duduk di bangku kelas 10 SMA, dan gue sendiri heran kok bisa begini ya?" terangku sembari mengacak rambutku dengan frustasi.

"Wkwkwkwkwk!" Tawa Bang Gio meledak, menggema di kamarku. Dengan cepat kusumbat mulutnya dengan bantal sebelum yang lain bangun dan ikut menertawakan diriku.

"Suuut... Bang jangan berisik, nanti yang lain bangun!" kesalku. Setelah tawa Bang Gio mereda ku ambil bantal tersebut lalu melipat kedua tanganku di dada memohon Bang Gio untuk diam.

"Serius lo?" tanya Bang Gio dengan menatapku tajam, berusaha menyelami isi kepalaku yang dipenuhi tentang Kayla.

"Lo tuh pantesnya disebut pedofil Gibran!" ejeknya sambil menahan tawa.

"Ah percuma ngomong sama lo Bang! Yang ada gue tambah stress," balasku seraya beranjak dari atas ranjang menuju pintu kamar, tetapi Bang Gio malah menahanku agar tidak pergi.

"Duduk!" perintahnya dengan serius yang dengan terpaksa kupatuhi.

"Sebagai Abang lo gue malu Gibran, lo kan sudah dewasa usia lo udah 24, masak loe macarin anak di bawah umur, carilah yang lebih dewasa, saran gue loe jauhi gadis itu, gue sih justru khawatir dengan lo," ucapnya serius dan ada sesuatu yang menggantung tapi segera kutepis perasaan itu.

"Tak semudah itu Bang, gue sendiri belum yakin dengan perasaan gue, gadis itu bernama Kayla," jawabku sambil mengingat wajahnya saja sudah membuatku tersenyum sendiri.

"Monyet lo pakek senyum-senyum segala!" umpat Bang Gio yang hanya ku balas dengan senyuman Pepsodent.

"Saran gue, lo lupain dia," sambungnya seraya menepuk bahuku lalu pergi meninggalkanku sendiri dalam kebingungan.

"Satu lagi! Ranti itu calon istri lo yang sudah disiapkan Mama dan Papa buat lo!" Sontak saja ucapan Bang Gio bagai bom yang meledak dan memporak-porandakan perasaanku.

"Jangan bercanda Bang, nggak lucu tahu!" Kesalku sambil mencoba mencari jawaban sendiri jika Bang Gio hanya bercanda.

"Makanya gue bilang ini biar lo tahu dan puasin dulu main cewek, sengaja Mama dan Papa merahasiakannya agar Ranti PDKT sendiri dan tidak ada keterpaksaan. Ranti juga tahu selama ini lo sama cewek kek gimana, makanya dia ingin usaha sendiri mengubah sikap lo," terangnya yang seketika membuat tubuhku mematung. Dan Bang Gio menghilang di balik pintu kamarku.

Kuhempaskan kembali tubuhku di atas ranjang lalu melihat kontak Kayla. Betapa ingin sekali aku mendengar suaranya. Tapi itu tidak mungkin, justru dengan aku menghubunginya aku akan memberikan harapan palsu sedangkan calon istriku sudah dipersiapkan oleh kedua orang tuaku. Aku tak mau seperti Bang Gio yang langsung menyetujui perjodohan dengan Kak Meisya. Memang sebelumnya Bang Gio sudah mengetahui jika dirinya akan dijodohkan. Dan ternyata Bang Gio dan Kak Meisya memang berjodoh. Pernikahan mereka akan berlangsung enam bulan lagi.

Hidup di zaman serba modern seperti ini tidak dapat mengubah tradisi keluargaku. Orang tuaku selalu menilai calon menantunya dari segi bibit, bebet, dan bobot. Terlebih lagi papaku pebisnis properti sukses yang relasi bisnisnya cukup luas. Ranti adalah putri dari salah satu rekan kerja papa. Niat awal aku hanya ingin bermain-main dengan Ranti sebentar tetapi sekarang justru menjadi boomerang bagiku.

***

Hampir tiga tahun berlalu, semua masalah selesai, termasuk hubunganku dengan Ranti yang berakhir dengan baik-baik saja. Dia sendiri yang memutuskan karena menyadari jika hubungan kita tidak sehat, dia tahu kalau aku tidak pernah mencintainya. Dan sekarang aku sedang ditahap akhir skripsiku. Aku berharap bisa menemui Kayla secepatnya karena kedua orang tuaku sudah menerima keputusanku, ini semua berkat Bang Gio yang membantuku. Entah dengan cara apa mama dan papa akhirnya bisa luluh dan memberiku kebebasan padaku untuk menentukan pendamping hidup sendiri.

Segera kusiapkan hati untuk menemui gadisku. Aku membayangkan dia kini pasti semakin cantik dan dewasa. Bahkan sudah kusiapkan cincin untuk melamarnya dan sekarang adalah waktu yang tepat. Usiaku sudah menginjak 27 tahun dan Kayla 19 tahun, usia yang ideal. Namun, jika Kayla belum siap aku akan sabar menunggunya.

Aku sudah membuat janji untuk menjemputnya sepulang kuliah sore ini. Dan semalam ia sudah menyetujui pertemuan itu. Aku tidak peduli meskipun sebelumnya aku pernah melihatnya bersama seorang pria bermotor sport, harapan itu masih ada selama janur kuning belum melengkung di rumahnya. Bagiku dialah tujuan hidupku sekarang.

***

Seperti biasa aku mengajaknya masuk ke dalam kafe langganan kita dulu, dia tampak gugup dan beberapa kali memutus kontak mata kita yang tak sengaja bertemu. Tak bosan-bosannya aku menatap wajah manisnya yang setiap waktu menyiksaku dengan rasa rindu. Hari ini aku bertekad akan menjelaskan semua kesalahpahaman di antara kita dan memulai hubungan baru yang lebih serius. Hari ini aku ingin langsung melamarnya untuk menjadi istriku.

Tapi sebelum aku sempat melamarnya, Kayla terlebih dahulu mengatakan jika ia sudah memiliki kekasih. Tubuhku yang awalnya terasa melayang tinggi di udara karena saking bahagianya mendadak terhempas, jatuh, dan hancur berkeping-keping. Tanpa berucap kupeluk erat tubuh Kayla yang menegang. Aku masih bisa merasakan jantungnya berdegup kencang, tetapi tak lama ia meronta, mencoba mengurai pelukanku yang semakin erat.

"Aku sangat merindukanmu Kayla," ucapku lirih di telinganya.

Perlahan tubuhnya melemah seraya mengangkat kedua tangannya, membalas pelukanku. Kurasakan kemejaku basah bersamaan dengan suara isak tangisnya.

"Aku mencintaimu Kayla, sangat," lirihku seraya semakin mengeratkan pelukan. Menikmati moment terindah bersamanya untuk yang terakhir kali.

Kuurai pelukan lalu menatap ke dalam netranya. Ia memutus kontak netra di antara kita lalu menundukkan kepala dengan air mata yang mengalir deras. Kuseka air matanya dengan ujung jariku lalu dengan sekuat hati aku mengatakan "Berbahagialah Kayla, aku ikhlas."

Rahasia Antara Aku dan Kakak Ipar (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang