Keping 4 : Izinkan Aku Bahagia

57 5 0
                                    

Hati yang kuat pun punya hak untuk melemah dan merasa lelah. Sekencang apapun aku berlari tetep saja sejalan dengan takdir yang sudah tergaris pasti di telapak tangan. Seberapa besar cinta pun tak akan berarti kalau tak berjodoh. Sakit memang, karena cinta yang pernah kudamba ternyata cinta yang kupinjam dari kakakku sendiri.

Deg.

Jantungku berdegup kencang saat beberapa kali netraku dan kak Gibran bertemu, jelas sekali rindu itu masih tersirat untukku. Dia pun sama terkejutnya seperti diriku, kuedarkan pandangan ke sudut lain agar tak sampai Kak Lyla atau yang lain curiga, aku berusaha setenang mungkin saat beberapa kali Kak Gibran mengukir senyuman, entah untukku atau Kak Lyla aku tidak peduli. Aku bingung dengan desakan rasa yang menguar dan tak bisa kuidentifikasi ini. Kulirik Kak Lyla yang terlihat gugup dengan sesekali tersipu malu saat dua keluarga membicarakannya.

"Please Kayla jangan sekarang!" lirihku dalam hati saat bendungan air mata yang tertahan hampir lolos di pipi.

"Kak, aku ke kamar mandi sebentar, lagi kebelet nih," bisikku seraya melepaskan genggaman tangan kakak sambil menahan sesak di dada.

"Iya Dek, cepetan balik ya?" jawab Kak Lyla dengan tersenyum menatapku yang hanya aku jawab dengan anggukan kepala karena sudah tidak sanggup berkata-kata lagi.

Bukannya ke kamar mandi aku malah berlari ke arah teras belakang rumah, satu-satunya tempat sepi, aku menangis sejadi-jadinya sembari meremas dadaku yang terasa begitu nyeri. Untuk berpisah dengannya aku sanggup meskipun harus tertatih-tatih, tetapi untuk menjadi saudara dan tinggal satu atap dengan laki-laki yang masih kucintai tersebut aku tidak akan pernah sanggup. Sungguh aku tidak akan mampu. Bagaimana jika cinta yang masih masih bersemayam dalam hati ini memenangkan egonya? Lalu bagaimana jika dia menyambutnya?

Entah berapa lama aku menangis hingga kurasakan air mata terasa mengering di pipiku. Kupandangi beberapa tanaman hias kesayangan ibu, mencoba mengacuhkan perasaan salah ini. Namun tiba-tiba sebuah tangan mendarat di pundakku dengan lembut lalu membelainya. Aku terperanjat dari tempat dudukku dan segera menyeka sisa buliran kristal yang mulai meluncur kembali.

"Kenapa Sayang? Kamu kok sedih padahal ini kan hari bahagia kakak kamu? Harusnya kan kamu bahagia." Dengan tatapan penuh tanya Kak Rendy mendekat lalu memelukku. Perlahan kedua tanganku terangkat dan melingkari tubuhnya demi mencari ketenangan. Bahu inilah yang selama ini menjadi tempatku bersandar dan mencari ketenangan atas gemuruh rasa di hatiku.

Aku kalah.

Dan kembali pertahananku jebol. Kuluapkan segala rasa laraku dalam pelukan Kak Rendy.

"Sudah ah! masak gara-gara gini aja nangisnya kayak lagi patah hati," godanya dengan tergelak setelah mengurai pelukan kami lalu mengusap air mataku.

"Nggak papa Kak, aku sedih karena sebentar lagi Kak Lyla pasti akan ikut bersama suaminya dan aku sendirian," dustaku mencoba menutupi perasaan yang sebenarnya.

"Udah jangan bersedih lagi! jelek tahu!" ucap Kak Rendy sembari menyentuh ujung hidungku dengan ujung jarinya.

Aku berusaha menetralkan rasa yang berkecamuk, seperti kapal yang terombang ambing ombak di lautan lepas. Aku karam dalam rasaku sendiri.

"Ayo balik ke ruang tamu nanti Ibu cariin!" ajak Kak Rendy lalu menyatukan jemariku ke dalam sela-sela jemarinya. Tanpa kuduga Kak Rendy membawa jemariku ke atas lalu mengecup punggung tanganku cukup lama. Ia tersenyum dan kembali membelai puncak kepalaku dengan sayang.

"Iya kak," jawabku seraya membalas senyumannya.

Aku kembali bergabung ke dalam acara pertunangan kakak bersama Kak Rendy dan memilih duduk di belakang, jauh dari jangkauan pandang Kak Gibran.

Acara pertunangan pun usai, semua tamu berpamitan lalu masuk ke dalam mobil masing-masing, aku masih fokus melihat punggung tegap Kak Gibran tanpa sepengetahuan Kak Rendy. Dulu.... Ya dulu punggung itu adalah sandaran ternyamanku. Tempat berkeluh kesahku. Tapi sekarang.... Kuhela nafas panjang berharap semua akan berjalan dengan baik-baik saja.

"Sayang aku balik dulu ya! Kamu istirahat dulu seharian sudah repot nyiapin acara lamaran Lyla, pasti kamu capek banget!" ucap Kak Rendy sambil mengusap puncak kepalaku saat berpamitan akan pulang.

"Hatiku Kak yang capek!" sahutku dalam hati seraya mengulas senyuman untuknya.

"Iya Kak Rendy, makasih ya sudah mau bantuin?" Kak Rendy pun berpamitan pada ayah, ibu, dan keluargaku yang lain.

Setelah beberes rumah kakak mengajakku ke kamarnya dengan paksa, sebenarnya aku ingin menolak karena khawatir kakak curiga, tetapi ia malah marah sehingga membuatku tak bisa menolak lagi. Kakak mengajakku membuka dan merapikan seserahan dari keluarga Kak Gibran.

"Dek, Alfa ini kok lucu ya, aku kan sukanya warna pink tapi barang yang dia bawa semua bernuansa violet, kan ini warna favorit kamu!" Celetuknya yang seketika membuat jantungku semakin jumpalitan.

"Kebetulan aja Kak, mungkin Kak Gib.. eh Kak Alfa mengira semua cewek itu suka warna violet," jawabku dengan asal untuk menutupi rasa gugup. Untung saja aku langsung tersadar dan segera meralat nama panggilanku untuk Kak Gibran.

Kakak sangat antusias membuka satu persatu seserahan mulai seperangkat alat salat, seperangkat perhiasan, seperangkat kosmetik, dan sepasang kain brukat putih berbordil violet yang nantinya dipakai kakak saat ijab kabul.

Kak Gibran hafal betul tentang apapun yang kusukai, dulu sewaktu masih sekolah semua peralatan belajarku mulai dari buku tulis, pensil, bulpoin, tas, kaos kaki semua bernuansa violet, bahkan terkadang saat beli buku novel pun aku memilih cover yang bernuansa violet. Kak Gibran hanya tersenyum geli saat melihat tingkah lakuku saat itu. Namun laki-laki itu sekalipun tidak pernah melayangkan protes padaku.

"Mana tangan kanannya coba aku lihat kukunya panjang nggak?" ucapnya padaku saat itu. Dengan manjanya kuulurkan tanganku di hadapannya, tiba-tiba ia mengeluarkan sebuah kotak berbahan beludru berwarna hitam dan mengeluarkan isinya sambil meraih tanganku.

"Cantik, sama seperti yang pakai," pujinya setelah memakaikan gelang berantai berbahan titanium dengan liontin berbentuk hati berwarna ungu sambil mengerlingkan mata nakal.

Kenangan indah bersamanya saling berebut mendesak ke luar dalam ingatanku yang lelah. Dengan keras kuhempas tubuhku ke atas ranjang bersama rasa galau yang membelenggu. Kupaksa menghentikan rasa itu sembari mengingat cinta tulus Kak Rendy.

"Ya Allah siapkan hati hamba, ikhlaskan hamba berjalan dalam suratan takdir-Mu. Hamba yakin semua ini adalah yang terbaik. Jika takdir hamba adalah Kak Rendy, maka tiupkanlah benih-benih cinta kami berdua dalam satu ikatan suci."

Tiga perempat malam kubenamkan tangis dalam sajadah panjangku. Aku berjanji, esok tidak akan ada lagi air mata untuk kak Gibran.

Berbahagialah Kak Gibran dan izinkan aku turut dalam kebahagiaanmu.

Rahasia Antara Aku dan Kakak Ipar (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang