19

120 28 0
                                    

Tuhan kita masih sama

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tuhan kita masih sama. Namun, jalan kita sudah berbeda.
_WiwiSulastri

Happy reading

Di pagi yang sunyi. Di hamparan jalanan yang sepi. Bunyi peraduan sepatu dengan jalan aspal terdengar nyaring sekali. Sementara mentari pagi masih malu-malu untuk menampakkan diri.

Derap langkah berbunyi langsung diganti dengan berlari. Seorang lelaki paruh baya dengan setelan khas olahraga sedang berlarian di pinggir trotoar dengan kedua telinga yang disumpal earphone.

Kabut pagi masih jelas terasa. Hawa dingin menambah kesan sejuk yang menyegarkan bagi siapa saja orang yang menghirup udaranya. Larian itu kini berhenti, tepat di depan sebuah TPU yang terlihat masih sepi dan juga sunyi.

Melepas earphone yang dikenakannya, lelaki paruh baya itu mengamati plang TPU Eurora untuk beberapa saat sebelum akhirnya ia melangkah masuk. Kabut pagi menghalangi separuh penglihatannya, sementara kesunyian menyapa indera pendengarannya.

Semakin jauh melangkah, hatinya semakin resah. Deretan makam bernama yang tersusun rapih semakin membuat rasa bersalahnya kian menjadi.

Langkahnya terhenti, tepat di depan sebuah makam tak bernama, yang tanahnya sudah tak lagi kelihatan karena terhalang rerumputan.

"Sayang, ayah datang." Lelaki paruh baya itu tersenyum samar. Kesedihan yang terurai di wajah mulus yang tak berkeriput itu nampak jelas sekali bahwa ia sedang tak baik-baik saja hari ini.

Bersimpuh di samping makam, Satya— menyingkirkan setangkai mawar hitam yang sudah layu dari atas makam tak bernama itu.

"Kamu sakit banget pasti karena mawar itu,"

Lelaki itu tak merasa takut berada di kuburan seorang diri, apalagi suasananya cukup menyeramkan sekali.

"Sesuai janji Ayah dua tahun yang lalu. Hari ini, Ayah datang buat jenguk kamu." meski berusaha bersikap kuat, lelaki paruh baya itu tetap terisak.

Tersungkur di atas rumput liar yang basah, Satya memeluk lututnya erat, membiarkan tangisnya tenggelam diantara kedua lutut kokohnya.

"Maaf...." Ia mendongak, mengamati rumput yang menjadi penghalang matanya untuk melihat dengan jelas tanah makam itu.

"Seandainya Papa bisa belain kamu...."

Satya mengusap jejak air matanya dengan cepat. Namun, dadanya terasa semakin sesak. Air matanya kembali menggenang dan siap untuk berjatuhan hanya dalam satu kedipan.

"Seandainya Papah datang buat jemput kamu sore itu...."

Satya tak kuasa untuk menahan tangis setelah 2 tahun meninggalkan TPU ini. Saat ini, ia hanya bisa berandai-andai meskipun ia tahu waktu tak bisa lagi berputar ke masa lampau.

Night Girls (Hiatus) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang