28

220 17 1
                                    

Guys bantu share. Udah ya happy Reading, author lagi males bikin kata-kata pembuka

.
.
.
.
.
.

Bumi terus berputar, akan tetapi terasa terhenti di kehidupan seorang Tanaka Georald. Sudah seminggu berlalu sejak meninggalnya sang cinta pertama-Veronika- yang mungkin sekarang akan menjadi cinta terakhirnya. Geo masih belum rela, mengingat bagaimana tatapan gadis itu yang mematikan, senyum manisnya yang jarang tampak dan nada bicaranya yang terdengar ketus. Geo belum bisa merelakan itu semua, karena baginya Vero adalah gadis langka dan sempurna, yang tak pernah ia dapatkan cintanya.

Hembusan nafas putus asa terdengar sangat pelan. Geo terduduk di sofa, menatap kosong ke arah TV yang tak menyala di hadapannya. Kamar apartemen yang biasanya selalu terang benderang kini gelap gulita seolah sedang tak ada penghuninya. Geo duduk sendirian, di tengah-tengah kegelapan. Entah pemikiran apa yang sedang hinggap di benak cowok itu sehingga makan pun enggan untuk ia lakukan.

Penampilan Geo terlihat sangat memprihatinkan. Mungkin, sudah dua hari ia tak makan. Steve- bodyguard nya- sudah ia pecat dua hari yang lalu karena terus memaksa agar dirinya mau makan. Dan Geo tak suka sebuah paksaan.

Di sisi lain. Penampilan seorang gadis berkacamata yang terduduk bengong di kamarnya tak jauh beda dengan Geo. Tika, menjadi orang pertama yang tak rela jika Vero harus meninggal dunia.

Seolah tak ada lagi kehidupan. Tika yang biasanya ceria berubah muram. Wajah cantiknya yang terbiasa dihiasi dengan senyuman kini berubah pucat dan datar. Tika tak sekolah dan juga tak mau makan jika tak menerima suapan dari Mamanya. Terkadang Rina menangis melihat raut datar putri keduanya. Keluarga besarnya merasa kehilangan, meski tiga tahun yang lalu kehadiran Vero dianggap menjadi sebuah beban.

°°°

Meninggalnya Vero seperti tak berarti apa-apa bagi Edo. Buktinya cowok itu selama beberapa hari belakangan ini malah giat bekerja dengan raut wajah yang ceria. Alva pun tak jauh berbeda dengan Edo. Mungkin, diantara mereka bertiga, hanya Geo yang merasa kehilangan.

"Hari ini Geo juga gak masuk ya, Va?" Edo bertanya. Alva mengangguk seraya menyeruput ice coffee pesanannya.

Keduanya kembali terdiam. Edo kembali memecah keheningan.

"Apa perlu kita tengok? Takut dia ngelakuin hal yang enggak-enggak." kata Edo. Alva menggeleng tak setuju.

"Biarin aja. Geo gak bakalan bunuh diri, percaya sama gue."

Waktu jam istirahat telah usai. Saatnya mereka berdua kembali melanjutkan pekerjaan. Pekerjaan Edo sebagai ketua Divisi terhitung sangat banyak, ia bahkan sempat kewalahan meng-handle semua perkerjaan yang tiada habisnya itu.

Edo memutar kursi kerjanya seraya berfikir, sementara berkas pekerjaannya yang masih menumpuk ia biarkan. Edo akhirnya memilih bangkit setelah bergelut dengan pemikirannya sedari tadi. Mungkin, pergi adalah sebuah pilihan yang tepat, karena kerja pun percuma, ia sedang tak bisa berkonsentrasi saat ini.

"Lo mau kemana, Do?" tegur Alva.

"Mau ke toilet bentar."

Edo berbelok ke arah kiri sementara toilet letaknya di sebelah kanan. Tujuannya adalah ruangan pak Bima, bukan toilet. Sengaja ia berbicara seperti itu agar Alva tak curiga bahwa ia akan menemui Papanya Alva.

Setelah urusannya dengan Bima selesai. Edo kembali keluar dengan menghela nafas lega. Ia izin pulang, mengingat waktu jam pulangnya masih empat jam ke depan. Perasaan khawatir karena sudah seminggu tak bertemu Geo membuat Edo tak tenang, sehingga hari ini ia memutuskan untuk pulang dan menjenguk keadaan Geo meski Alva melarang.

Night Girls (Hiatus) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang