"Michelle...?"
Seorang gadis dengan warna rambut abu-abu dengan berpakaian serba putih, di lengan bajunya terdapat logo dengan gambar elang namun seperti terkena goresan benda tajam.
Gadis bernama Michelle, tidak lain adalah pelayan setia Guinevere yang sudah melayaninya dari kecil. Guinevere tidak menduga bahwa dalang dari ini semua adalah orang yang sangat dia percayai, bahkan Guinevere telah menganggapnya sebagai kakaknya.
"Ini... Bohong, hey Michelle... Katakan padaku bahwa kehadiranmu disini untuk menyelamatkanku, 'kan...?"
Michelle diam sejenak lalu menyunggingkan senyum sinis. "Sayang sekali tebakanmu salah. Dan aku harus minta maaf karena membuatmu kecewa," ujarnya, lalu berjalan mendekati inti sihir. "Sesuai rencana... Kehancuran Moniyan selangkah lebih maju."
Kekehan kecil terlontarkan dari mulut Michelle, semakin lama kekehan itu menjadi tawa besar yang begitu nyaring. Penuh kenafsuhan, penuh kegilaan, dan penuh kebencian.
"Hahahaha! Hah... Sial, saking senangnya sampai birahiku meningkat. Lihatlah wajah putus asamu itu! Itulah yang ingin kulihat! Lagi! Berikan lagi! Nona Guinevere!" Michelle bersorak meriah, dirinya tidak bisa diam sampai memperagakan tarian memutar.
Michelle merentangkan kedua tangan dan menatap ke atas. "Long live Ragnivt... Sebentar lagi aku akan membalaskan dendam kalian semua. Lihatlah dari atas sana..."
Tubuh Michelle bersinar ungu gelap, kedua tangannya yang terbaluti oleh sepasandg sarung tangan dengan monitor kecil dan beberapa tombol, menyerap inti sihir milik kota Lumina. Guinevere ingin menghentikan Michelle dengan bola sihir miliknya, namun sia-sia karena bola sihir tersebut musnah seketika.
"Aku... Aku tidak dapat merasakan sihirku sama sekali...!" keluh Guinevere frustasi, penuh kebingungan sekaligus ketakutan.
Michelle tersenyum sinis. "Fufufufu~ sayang sekali ya." wanita itu melangkah maju mendekati Guinevere tentu Guinevere merangkak mundur. "Harusnya aku membunuhmu sekarang, tapi... aku akan membunuhmu nanti setelah aku meratakan Moniyan. Karena aku mencintaimu, Gwen." ujar Michelle sembari mengelus lembut pipi Guinevere.
Guinevere mematung di tempat, meratapi kepergian dari orang yang sudah dia anggap sebagai kakak, orang yang telah menjaga dan merawat sejak ia kecil, orang yang sangat ia percayai dengan setegup hati. Namun kepercayaannya telah runtuh dalam sekejap, ini semua terlalu di luar dugaan, Guinevere tidak bisa berpikir apa-apa selain menatap kosong langit kayu. Bahkan Guinevere melupakan keadaan Fanny.
"Michelle.... Ini bohong... Ini... Hanya ilusi yang dibuat Divus, 'kan...? Ini hanya ilusi, ini hanya ilusi, aku--aku hanya perlu menampar diriku---"
"Sayangnya ini semua nyata, nona Guinevere..." suara lemah yang tidak lain adalah Divus yang tengah menyandarkan diri. "Michelle Trappola... Dialah dalang dari semua kekacauan ini, dialah yang menculik anak-anak bayi dan dibuat seperti yang kau lihat sekarang.."
"Klan Ragnivt... Dialah satu-satunya yang tersisa. Dia pasti ingin membalas dendam kepada Moniyan, bagaimanapun klan Ragnivt sangat berbahaya karena mereka dikenal memiliki kemampuan sihir dipadukan dengan teknologi." ujar Divus panjang lebar. Dia menatap Guinevere, berharap gadis itu mendengarkan dan akan berkromponi.
Butiran air mata jatuh dari kedua mata Guinevere. "Aku... Aku tidak tahu...! Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi sekarang!" isaknya putus asa.
Pria itu memandang dengan iba, dia mengerti apa yang telah dirasakan oleh gadis yang sedang bersamanya. Dikhianati oleh orang terdekat yang sangat dipercaya, sungguh menyakitkan. Namun, Divus tidak bisa hanya terus diam sambil mendengarkan tangisan. Sebagai seorang yang dulu pernah mengikuti Ragnivt, Divus harus bertanggung jawab untuk segera menghentikan mantan rekannya yang dilahap oleh amarah dendam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Ikuti Aku! (END)
Fanfiction"Aku tidak butuh budak dingin macam dia!" Keputusan orang tuanya membuat Guinevere pusing setengah mati, rasanya belum cukup menjodohkannya dengan pria dari keluarga Paxley. Kini mereka menyewa seorang pemain biola terburuk untuk menjaganya! Apakah...